Wafatnya Eril, panggilan akrab Emmeril Kahn Mumtadz, di sungai Aare, Swiss, meninggalkan makna tersendiri. Makna tersembunyi yang pantas untuk digali dan dipahami siapa saja sebagai cermin yang jernih untuk berkaca. Ribuan masyarakat yang berdiri berjajar menyambut kedatangan jenazah di sepanjang jalan Jakarta-Bandung, ribuan masyarakat yang turut bertakziah dan menshalatkannya adalah fenomena yang harus dibaca sebagai bagian dari upaya kita memaknai kembali sebuah sabda Nabi, “Kafa bil mauti wa’idza” (Cukup lah kematian sebagai pelajaran).
Sejarah Islam pernah mencatat wafatnya seorang ulama bernama Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dihadiri jutaan manusia. Mereka ingin mengiringi perjalanan sang Imam ke tempat peristirahatan terakhir. Imam Ahmad pernah mengatakan sebelum kematiannya, “Perbedaanku dengan kalian adalah seberapa banyak peziarahnya.” Kata-kata yang dianggap sebagai firasat seorang pemimpin madzhab terhadap musuh-musuh agama yang menyiksanya ini diriwayatkan oleh putranya Abdullah, yang kemudian diriwayatkan kembali oleh Ali Al-Showaf dan direkam oleh Imam Al-Daruquthni dalam kitab Sunan-nya. Pernyataan Imam Ahmad ini terbukti kemudian, lautan manusia berduyun mengiringi pemakaman jenazahnya.
Tidak hanya jutaan manusia yang datang bertakziah dan menshalatkan jenazah Imam Ahmad. Lautan manusia selama berhari-hari yang tak kunjung habisnya itu menjadi momentum yang mengharukan sekaligus mencengangkan. Abdul Wahab Al-Warraq bersaksai bahwa belum pernah terjadi manusia berkumpul dengan jumlah sebanyak itu, baik pada masa Islam maupun sebelumnya, masa jahiliyyah. Tidak hanya itu, kejadian yang mencengangkan itu menggetarkan hati umat beragama lain dari kalangan nasrani, yahudi dan majusi. Sungguh luar biasa, ribuan dari mereka bersyahadat.
Pernyataan Imam Ahmad itu memang tidak dimaksudkan sebagai keseluruhan, bahwa jenazah pembela kebenaran akan senantiasa diiringi banyak orang dan jenazah seorang pendosa diiringi sedikit orang. Betatapun saleh seorang Al-Haris ibn Al-Asad Al-Muhasibi, seorang sufi yang dikenal dengan kezuhudan dan kewiraiannya, jenazahnya tidak dihadiri kecuali tiga sampai empat orang. Kata-kata Imam Ahmad, menurut Ibn Katsir, harus dipahami dalam konteks tertentu, yaitu nilai perjuangan Imam Ahmad dalam menegakkan kebenaran agama, ujian dan siksaan yang dialaminya, menjadi pendorong masyarakat bersimpati kepadanya.
Lautan manusia hadir di pemakaman Imam Ahmad semata-mata bahwa masyarakat pada saat itu merindukan kebaikan, perjuangan, kecintaan pada agama, dan kecintaan pada ulama. Perintah Rasulullah SAW senada dengan hal ini, sahabat Anas meriwayatkan, “Suatu hari umat Islam menyambut jenazah, lalu mereka memuji jenazah itu, Rasulullah berkata, “Itu harus.” Kemudian umat Islam menyambut jenazah, lalu mereka mencelanya, “Itu harus.” Kata Rasulullah. Sahabat Umar kemudian berkata, “Apa “yang itu harus” wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jenazah yang kalian puji, harus baginya surga, jenazah yang kalian cela wajib baginya neraka. Kalian adalah saksi Allah di bumi ini.”
Hadits di atas mengajarkan bahwa masyarakat bisa saja menjadi saksi apakah jenazah itu baik ataukah buruk. Lautan manusia telah mempersaksikan bahwa jenazah Imam Ahmad adalah jenazah yang baik. Begitu juga ribuan masyarakat yang turut mempersaksikan jenazah Eril sepanjang perjalanan Jakarta menuju Bandung sebagai jenazah yang baik. Persaksian itu, mencerminkan konteks kerinduan masyarakat terhadap kebaikan budi pekerti seorang remaja yang rendah hati, dermawan, birrul walidain, dan kepekaan sosial tinggi yang semakin sulit ditemukan di tengah-tengah mereka sekarang ini. Kerinduan masyarakat pada moralitas remaja yang terpantul pada kehidupan Eril, adalah miniatur kerinduan masyarakat Baghdad yang melaut saat itu terhadap keteguhan beragama yang tercermin pada diri Imam Ahmad.
Tulisan sederhana ini tidak hendak menyejajarkan Eril dan Imam Ahmad dengan jutaan pentakziah yang mencengangkan itu. Tulisan ini lebih menekankan pada adanya konteks ketakjuban dan kerinduan masyarakat pada kebaikan budi pekerti di mana kemudian Allah SWT menggerakkan banyak hati manusia untuk mempersaksikan kebaikannya. Eril hadir sebagai sosok remaja dengan kualitas yang terasa semakin sulit ditemukan di tengah-tengah masyarakat kontemporer ini.
Saat ini, kita lebih banyak disuguhi oleh tontotan-tontonan yang menghadirkan kaum muda-mudi yang sulit dijadikan teladan hidup. Mereka lebih banyak menampilkan diri sebagai “crazy rich” yang hedonis, materialis, bahkan amal sosial yang mereka posting di akun medsos hanya untuk menarik perhatian subscribers. Eril adalah antitesa dari kehidupan pragmatis-materialis kaum muda kebanyakan. -Anis Mashduqi