
PPM.ALHADI–Ngaji kitab Tanbihul Mughtarrin yang dibacakan oleh Abah Anis kali ini menyoroti dua pembahasan utama, yakni sikap ulama terhadap jabatan dan pentingnya saling menasihati.
Dalam kajian ini, beliau mengupas bagaimana Imam Sya’roni menggambarkan para ulama dan salaf ash-shalih terdahulu memperlakukan jabatan dengan kehati-hatian serta bagaimana mereka menempatkan nasihat sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat dan beragama yang sehat.
Menjauhi Jabatan dan Ambisi Kekuasaan
Salah satu akhlak para ulama terdahulu adalah sikap mereka yang tidak mencari-cari jabatan. Imam Asy-Sya’roni menggambarkan bahwa para ulama’ dan salaf as-shalih bahkan cenderung menghindari kekuasaan hingga jabatan itu sendiri datang menghampiri mereka tanpa perlu dikejar.
Dalam kitab Tanbihul Mughtarrin halaman 54:
وَمِنْ أَخْلَاقِهِمْ: تَرْكُ طَلَبِ الرِّيَاسَةِ حَتَّى تَفْجَأَهُمْ. وَتَقْدِيمُهُمْ النَّاسَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَيَصِيرُ أَحَدُهُمْ يَقُولُ: مَا أَنَا بِأَهْلٍ لِلإِمَامَةِ مِثْلًا، فَيَقُولُ النَّاسُ لَهُ: بَلْ أَنْتَ أَهْلٌ لِذَلِكَ وَزِيَادَةٌ.
“Salah satu akhlak mereka adalah tidak mencari-cari kepemimpinan hingga jabatan itu sendiri datang kepada mereka. Mereka lebih mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri. Bahkan, seseorang di antara mereka berkata: ‘Saya tidak pantas menjadi pemimpin.’ Lalu orang-orang menjawabnya: ‘Justru engkau lebih dari pantas untuk itu!’”
Sikap ini bertolak belakang dengan fenomena zaman sekarang, di mana banyak orang yang justru berlomba-lomba mencari jabatan dengan berbagai cara, bahkan menghalalkan segala sesuatu demi mendapatkan kekuasaan.
Sufyan Ats-Tsauri menegaskan bahwa mereka yang mencari jabatan sebelum waktunya justru akan kehilangan banyak ilmu. Sebab, bagi ulama, sejatinya keutamaan ilmu dan derajat orang berilmu lebih berharga dibandingkan dengan jabatan yang bersifat duniawi.
Lebih keras lagi, Hujaj Ibnu Athroah menggambarkan bagaimana jabatan dapat menghancurkan seseorang yang terlalu mencintainya:
وَ كَانَ حَجَّاجُ ابْنُ أَرْطَاةَ يَقُولُ: قَدْ قَتَلَنِي طَلَبُ الرِّيَاسَةِ وَحُبُّهَا
“Telah membunuhku keinginan untuk meraih jabatan dan kecintaan padanya.”
Jika kita melihat kondisi sosial politik hari ini, pernyataan ini terasa semakin relevan. Banyak pejabat yang demi mempertahankan posisinya tega mengorbankan kepentingan rakyat. Kecintaan terhadap jabatan sering kali menjadikan seseorang kehilangan moralitasnya, melakukan korupsi, menyalahgunakan wewenang, dan bahkan memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi.
Sufyan Ats-Tsauri juga menambahkan bahwa ada dua perkara yang lebih pahit dari sekadar bersabar:
وَكَانَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ يَقُولُ: تَرْكُ الرِّيَاسَةِ وَتَرْكُ مَحَبَّةِ الْمَرْأَةِ أَمَرُّ مِنَ الصَّبْرِ
“Meninggalkan jabatan dan meninggalkan cinta seorang wanita, keduanya lebih pahit daripada bersabar.”
Jika pahitnya bersabar membuahkan hasil yang lebih manis daripada madu, lalu bagaimana dengan hasil dari pahitnya meninggalkan jabatan dan cinta dunia yang berlebihan?
Budaya Saling Menasihati dan Menerima Kebenaran
Setelah membahas tentang jabatan, Abah Anis melanjutkan pembacaan pada bab pentingnya budaya saling menasihati dalam kehidupan sosial. Salah satu ciri khas ulama terdahulu adalah tidak pandang bulu dalam menerima dan memberi nasihat. Antara orang tua dan anak muda, antara guru dan murid, semuanya terbuka untuk saling mengingatkan.
Pada bagian ini, Imam Sya’roni juga menekankan peran pemuda dalam membawa perubahan. Para pemuda yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang memiliki karakter kuat dan berkontribusi dalam perbaikan masyarakat.
Dalam halaman 55 kitab Tanbihul Mughtarrin, Imam Sya’roni mengutip beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan betapa pentingnya peran pemuda dalam sejarah Islam, di antaranya Yusuf (30), Al-Kahfi (60) & (62), Al-Anbiya’ (60).
Selain ayat-ayat tersebut, Abah Anis juga membacakan kutipan Imam Sya’roni pada hadits Rasulullah SAW:
أُوصِيكُمْ بِالشَّبَابِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً، أَلَا وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَرْسَلَنِي شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا فَجَالَسَنِي الشَّبَابُ وَخَالَفَنِي الشُّيُوخُ
“Aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada para pemuda, karena hati mereka lebih lembut. Ketahuilah bahwa Allah mengutusku sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Lalu para pemuda mendekat kepadaku, sementara orang-orang tua menjauh.”
Hadits ini menegaskan bahwa pemuda adalah harapan perubahan. Dalam konteks hari ini, pemuda memiliki peran besar dalam memperbaiki keadaan bangsa, termasuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran.
Sebagai penutup pengajian, Abah Anis membacakan nasihat Imam Sya’roni di akhir bab:
فَتَأَمَّلْ يَا أَخِي مَا ذَكَرْتُهُ لَكَ وَاسْتَغْنِمْ شَبَابَكَ، وَرَقِّعْ مَشِيبَكَ بِكَثْرَةِ الِاسْتِغْفَارِ، تُجْبَرْ مَا انْصَدَعَ مِنْ دِينِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Renungkanlah, wahai saudaraku, apa yang telah kusampaikan kepadamu. Manfaatkanlah masa mudamu, dan tambalilah masa tuamu dengan banyak beristighfar, agar dapat memperbaiki bagian agamamu yang telah retak.”
Pesan ini menjadi refleksi bagi kita semua. Menjaga amanah jabatan dan membudayakan nasihat adalah dua hal yang harus terus kita jaga agar kehidupan sosial tetap harmonis dan adil. Jika hari ini kita melihat fenomena “Indonesia Gelap”, maka solusinya bukan sekadar kritik kosong, tetapi membangun budaya kepemimpinan yang sehat dan saling menasihati demi kebaikan bersama.
Wallahu A’lam