
PPM.ALHADI–Setiap 25 November, saya, Anda, dan seluruh murid (red; santri) seantero nusantara merayakan Hari Guru Nasional. Media sosial dipenuhi foto bersama guru, caption panjang penuh terima kasih, bahkan hadiah untuk para pendidik.
Namun, rasanya, banyak dari kita telah melewatkan sesuatu dalam perayaan ini: kita cenderung hanya mengingat guru yang masih hidup, yang masih bisa kita temui dan cium kedua tangannya. Sementara guru-guru yang telah wafat—yang jasanya tidak kalah besar—justru terlupakan.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, dalam berbagai kesempatan acap kali mengingatkan fenomena ini. Beliau menyebut bahwa banyak santri dan pelajar masa kini yang hanya fokus kepada guru yang masih hidup, padahal ulama terdahulu, para pengarang kitab turats yang kita pelajari—bukankah mereka juga guru kita? Meski kita tidak pernah bertemu langsung, ilmu mereka terus mengalir melalui sanad guru-guru kita hari ini.
Senada dengan itu, KH. Said Aqil Siradj pernah menegaskan: “Guru yang telah wafat justru lebih berhak untuk didoakan dan dikenang, karena mereka tidak bisa lagi beramal untuk diri mereka sendiri. Doa dan kenangan kita adalah sedekah jariyah bagi mereka.”
Adapun 25 November, ia juga bertepatan dengan hari kelahiran salah satu tokoh pendidikan yang warisan pengabdiannya selalu kita nikmati: KH. Muhadi Zainuddin. Beliau lahir 25 November 1954 di Krapyak Wetan, Yogyakarta, dan wafat 30 Agustus 2019.
Untuk mengenang dan meneladaninya, Yayasan Pesantren Al-Hadi Yogyakarta menerbitkan novel biografi berjudul “Jejak Langkah Sebelum Subuh Tiba”.
Bagi para santri dan alumni, novel ini adalah jembatan untuk terus mengenal dan mengingat sosok yang telah membesarkan kami dengan ilmu dan teladan. Novel ini tersedia di @souq.hadiya untuk siapa saja yang ingin memulai perjalanan mengenal beliau.
Darah Raja, Nafas Ulama
KH. Muhadi Zainuddin lahir dari keluarga yang sederhana secara materi, namun luhur secara nasab spiritual dan intelektual. Dari jalur ayah, Zainuddin Chirzin, ia adalah keturunan Mbah Hasan Istadi, seorang ulama besar yang darahnya bersambung ke Sunan Gunung Jati.
Mbah Hasan Istadi dikenal sebagai ulama pemberani yang pernah menundukkan para begal di sekitar keraton Yogyakarta, hingga Sultan menghadiahkannya tanah perdikan dari Dongkelan sampai Salakan—termasuk tanah Krapyak yang kini menjadi tempat pesantren berdiri.
Dari jalur ibu, Siti Dalilah, nasabnya menjejak ke Prabu Hanyokrowati, raja kedua Mataram. Prabu Hanyokrowati adalah sosok yang wafat di Krapyak saat berburu banteng, sehingga dijuluki Panembahan Seda ing Krapyak. Putranya, Raden Mas Wuryah, hanya menjadi raja semalam sebelum menyerahkan tahta kepada adiknya, Sultan Agung.
Ia memilih pergi ke Selarong untuk menjadi ulama dan mengajar ngaji—sebuah pilihan yang kemudian menjadi warisan keluarga: meninggalkan hiruk pikuk istana demi ilmu.
Meski memiliki silsilah mulia, masa kecil Muhadi jauh dari kemewahan. Belum genap setahun, ia dibawa ke Madura karena ayahnya yang seorang Polisi Pamong Praja dipindah tugaskan. Di tanah garam itu ia tumbuh, hingga usia 11 tahun kembali ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan.
Perjalanan Keilmuan: Dari Krapyak hingga Madinah
Pulang ke Jogja, Muhadi harus mengulang kelas lima di SD Negeri Jageran karena belum fasih berbahasa Jawa. Selepas SD, ia nyantri kepada Mbah Ali Maksum di Pondok Pesantren Al-Munawwir selama jenjang pendidikan MTs dan MA. Di sinilah fondasi keilmuannya dibangun di bawah bimbingan Mbah KH. Ali Maksum, Mbah KH. Zainal Abidin, dan para masyayikh Krapyak. Selain mengaji, ia juga dipercaya menjadi guru dan staf Tata Usaha pesantren. Pada saat itu, hampir tidak ada santri muda yang diberikan amanah untuk melakukan hal tersebut.
Setelah lulus MA tahun 1973, ia melanjutkan ke Institut Dakwah Masjid Asy-Syuhada’ (IDMS). Namun ada setitik bara yang tak pernah padam: cita-citanya untuk menimba ilmu di Madinah. Tahun 1976, dengan bantuan kakaknya Djunaedi dan restu Mbah Ali Maksum, ia berangkat ke tanah suci dengan pesawat kosong yang dikirim untuk menjemput jamaah haji.
Perjalanan di Madinah tidak mudah. Satu tahun pertama ia habiskan di Makkah, mengikuti program persiapan di Darul Hadits sambil bekerja sebagai buruh proyek dan bergaul dengan anak-anak kecil untuk mempercepat penguasaan bahasa Arab. Setelah lulus, ia diterima di Universitas Islam Madinah dan menyelesaikan studinya tahun 1981.
Yang menarik, setelah pulang ke Indonesia pada 1981, ia tidak langsung bekerja, tetapi memilih melanjutkan studi penyetaraan S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981–1983). Pada 25 November 1983, selepas majelis pengajian Abah Dimyati—pendiri Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah—ia melangsungkan akad pernikahan dengan Umamah Dimyati, putri kelima Abah Dimyati.
Selanjutnya, ia menempuh studi S2 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1993–1995). Langkah akademik ini mengikuti saran kakaknya, Djunaedi, agar pengetahuan yang diperolehnya dari Timur Tengah dapat dibumikan dan diaktualisasikan melalui pemahaman mendalam terhadap konteks pendidikan nasional Indonesia.
Mendirikan Pesantren dan Mengabdi Tanpa Henti
Tahun 1990, bersama kakaknya Djunaedi dan ayahnya Zainuddin Chirzin, Muhadi mendirikan Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin. Nama ini ditetapkan saat ia dan Sang Kakak berwukuf di Padang Arafah—”Aji” dalam bahasa Jawa berarti berharga, sebuah doa agar santrinya menjadi manusia yang dihargai di mana pun berada. “Al-Muhsin” diambil dari nama Mbah Muhsin, leluhur mereka, sekaligus sebagai pengingat untuk senantiasa berbuat baik (ihsan).
Pesantren ini lahir dari kegelisahan ketika para mahasiswa yang mengaji di langgar Al-Muhsin semakin banyak jumlahnya dan pergaulan mereka yang mulai kabur batas syariatnya. Muhadi ingin menciptakan ruang yang aman, di mana mahasiswa bisa menuntut ilmu kampus tanpa kehilangan pegangan agama. Di sini pula-lah, ia membuktikan bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum—keduanya bisa dan harus berjalan seiring.
Sebagai pengasuh, Muhadi dikenal sangat disiplin, terutama soal shalat berjamaah. Setiap fajar, sebelum subuh tiba, ia membangunkan santri dan jamaah lewat pengeras suara masjid. Suaranya menjadi alarm bagi seluruh Krapyak Wetan.
Salah satu petuahnya, “Anak yang cerdas bukan yang tinggi angkanya di atas kertas, tapi yang fasih melantunkan qur’an dan ringan langkahnya menuju shalat berjama’ah.”
Selain menjadi pengasuh pesantren, ia juga bekerja sebagai dosen, ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) sejak 1988, bahkan sempat menjabat sebagai Wakil Dekan II (1988-1996) dan Wakil Dekan III (1996-2000) Fakultas Syariah.
Ia juga aktif dalam berbagai organisasi pendidikan, termasuk menjadi salah satu pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) An-Nur Yogyakarta tahun 2002, di mana ia menjabat sebagai ketua hingga 2011.
Di sela kesibukannya, ia juga mendirikan Masjid Bilal ben Rabah di Dusun Mejing (1988), MI Al-Muhsin I dan II (2009-2010), MTs Al-Muhsin II, bahkan SMK SMART Al-Muhsin dan STEBI Al-Muhsin.
Semua lembaga ini ia bangun dari nol, dengan dana yang terbatas, namun semangat yang tak pernah padam.
Muhadi wafat pada Jumat, 30 Agustus 2019, di RSI Hidayatullah. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam. Namun warisan ilmu dan pengabdiannya terus hidup melalui ribuan santri dan alumni juga lembaga yang ia dirikan.
Refleksi
Sebagai santri yang juga mahasiswa dan aktif di organisasi, saya sering merasa terjebak: waktu untuk mondok, kuliah, dan organisasi seperti tidak pernah cukup hingga tak jarang memilih untuk mengorbankan ngaji saya. Namun dari sosok Buya Muhadi, saya belajar bahwa kunci utamanya adalah disiplin dan keseimbangan.
Disiplin bukan berarti kaku, melainkan komitmen pada prioritas. Buya Muhadi mengajar di kampus, mengasuh pesantren, aktif di berbagai organisasi pendidikan dan sosial keagamaan, mendirikan sekolah dan masjid, namun ia tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah—bahkan di hari-hari terakhirnya ketika jatuh sakit. Baginya, ibadah adalah pusat orbit kehidupan; semua aktivitas lain berputar mengelilinginya, bukan sebaliknya.
Keseimbangan berarti tidak mengorbankan satu aspek demi aspek lain. Buya Muhadi tidak pernah berkata, “Karena sibuk ngaji, jadi tidak perlu kuliah,” atau “Karena sibuk organisasi, jadi boleh ninggalkan shalat berjamaah.” Semuanya ia jalani dengan sungguh-sungguh, ia mengajarkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum sama-sama penting, bahwa organisasi adalah medan pengabdian, dan bahwa semua itu tidak bermakna tanpa fondasi spiritual yang kuat.
Setidaknya, ada 3 hal yang harus kita amalkan setelah perayaan Hari Guru Nasional 2025 ini. Pertama, Jangan pernah tinggalkan shalat berjamaah—ini adalah disiplin dasar yang membentuk semua disiplin lainnya. Kedua, jangan takut bermimpi besar dan mulailah dari langkah kecil yang konsisten— Buya Muhadi mengawali pembangunan lembaga-lembaganya dimulai dari satu langgar kecil. Ketiga, hiduplah sederhana, tapi berdampak luas—beliau tidak pernah hidup mewah, namun ribuan orang merasakan manfaat pengabdiannya.
Penutup: Mengenal, Mencintai, Meneladani
Artikel ini tentu tidak mampu merangkum seluruh kisah dan hikmah dari perjalanan hidup KH. Muhadi Zainuddin. Ada ribuan cerita kecil yang luput, ratusan teladan yang belum tersampaikan, puluhan doa dan air mata yang tersimpan dalam hati para santrinya. Namun, tujuan artikel ini sederhana: memulai untuk mengenal, agar kita bisa mencintai, kemudian meneladani, dan akhirnya meneruskan cita-cita serta semangat beliau.
Di akhir Novel Biografi K.H. Muhadi Zainuddin; Jejak Langkah Sebelum Subuh Tiba, tercantum sebuah syi’ir berjudul Shoba Qalbi (Merindu Hatiku) yang ditulis sebagai ungkapan kerinduan para santrinya:
صَبَا قَلْبِي إِلَى شَيْخِي
“Jejak Langkah Sebelum Subuh Tiba”
مُهَادِي صَاحِبِ الْهَادِي
Hatiku merindu pada Sang Guru
Muhadi, Muassis Pesantren Al-Hadi
فَشَوْقِي دَائِمًا يَجْرِي
بِدَمْعٍ فَاضَ مِنْ قَلْبِي
Rinduku tak pernah lelah mengalir
Bersama air mata yang tumpah dari dada yang sesak
رَحْمَاكَ يَا إِلٰهَنَا
لِشَيْخٍ كَانَ بِالتَّقْوَى
Limpahkanlah Rahmat-Mu, duhai Tuhan-ku
Untuk Sang Guru yang hidupnya penuh takwa
ٱلْحُبُّ فَوْقَ ٱلْأَعْدَادِ وَٱلشَّوْقُ حَتَّى ٱلْمِيعَادِ
Cinta melampaui hitungan, merindu hingga hari perjumpaan
Syi’ir lengkap dan prosa kerinduan untuk Buya Muhadi bisa dibaca di akhir novel “Jejak Langkah Sebelum Subuh Tiba”. Bagi yang ingin memilikinya, kunjungi @souq.hadiya.
Selamat Hari Guru Nasional. Mari kita tidak hanya merayakan guru yang masih hidup, tetapi juga mengenang, mendoakan, dan meneladani guru-guru yang telah tiada. Karena guru sejati tidak pernah benar-benar pergi—ia hidup dalam setiap ilmu yang kita amalkan dan setiap kebaikan yang kita tebarkan.
Wallahu a’lam bisshawab.
