Takdzim yang Disalahpahami

  • Kamis, 16 Oktober 2025
  • 90 views

PPM.ALHADI–Dalam beberapa hari terakhir, publik pesantren kembali dibuat gerah oleh tayangan salah satu program televisi nasional di Trans7 yang dianggap melecehkan martabat pesantren. Dalam tayangan itu, sosok guru agama digambarkan secara karikatural—seolah-olah lucu, tapi bagi kalangan santri dan kiai, itu adalah penghinaan terhadap tatanan adab.

Anggota DPD RI asal DIY, Dr. H. Hilmy Muhammad (Gus Hilmy), dengan tegas menyatakan bahwa tayangan tersebut “melukai martabat pesantren dan menyesatkan pemahaman publik tentang relasi santri dan kiai.”
Tapi di balik kegaduhan ini, sesungguhnya ada refleksi yang lebih dalam dan penting – masyarakat kita tampaknya belum memahami perbedaan antara takdzim dan feodalisme.

Dalam tradisi pesantren, takdzim bukan sekadar sopan santun. Ia adalah adab spiritual yang menyatukan cinta, ilmu, dan kerendahan hati. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, dalam kitab klasiknya Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim, menulis:

“Takdzim itu mengagungkan guru dengan adab, bukan menyembahnya. Siapa yang menjadikan gurunya seperti Tuhan, maka ia telah sesat.”

KH. Hasyim Asy’ari, dalam kitab klasiknya Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim

Kata “mengagungkan” di sini bukan bermakna kultus, melainkan menghargai ilmu dan sanad keilmuannya. Santri tunduk bukan karena takut, tapi karena paham bahwa keberkahan ilmu lahir dari adab kepada guru.

Dalam pandangan Islam, hubungan guru dan murid adalah relasi ruhani, bukan relasi kuasa. Guru menuntun dengan kasih, murid menghormati dengan cinta. Takdzim dalam pesantren adalah bentuk syukur terhadap ilmu—bukan penyerahan diri yang membunuh nalar.

Takdzim Tak Mematikan Akal

Namun, seperti disindir oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur):
“Feodalisme di tubuh umat Islam muncul ketika takdzim kehilangan ruh keilmuannya, dan hanya menyisakan bentuk luar penghormatan tanpa pemahaman.”
Ketika rasa hormat berubah menjadi rasa takut
ketika loyalitas lahir bukan karena kebenaran tetapi karena status, maka di situlah takdzim bergeser menjadi feodalisme.

Feodalisme adalah bentuk penghormatan yang kehilangan akal sehat. Ia menjadikan guru, kiai, atau pemimpin sebagai pusat kuasa yang tak boleh dikritik. Akibatnya, pesan moral dan spiritual dalam hubungan guru-murid menjadi beku, terhenti pada simbol-simbol kosong.

Sementara itu, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menegaskan:
“Takdzim itu bukan mematikan akal. Santri hormat kepada kiai, tapi juga berpikir kritis. Kalau semua diserahkan tanpa berpikir, itu bukan adab — itu perbudakan batin.”
Pesan ini mengingatkan bahwa takdzim sejati justru membebaskan manusia dari keangkuhan ego, bukan menjerumuskannya dalam kepatuhan
buta.

Antara Budaya Adab dan Struktur Feodal
Dalam konteks sosial-budaya Jawa, fenomena takdzim sering bercampur dengan warisan hierarki tradisional.
Rasa sungkan yang berlebihan, sikap “tidak enak” mengoreksi yang lebih tua, atau pandangan bahwa kiai “tidak mungkin salah”, adalah ekspresi kultural yang mudah bergeser dari adab menuju feodalisme.
Padahal Islam telah menegaskan prinsip kesetaraan spiritual:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini menjadi penegasan bahwa takdzim bukan berarti meniadakan kesetaraan. Semua manusia sejajar di hadapan Allah; yang membedakan hanyalah tingkat takwa dan keilmuannya.

Secara lahiriah, keduanya sering tampak mirip.
Santri menundukkan kepala di hadapan kiai, mencium tangan, atau berbicara dengan suara lembut. Namun, makna batin di balik gestur itu sangat menentukan.
Jika santri menunduk karena cinta dan hormat kepada ilmu, itu adalah takdzim. Tapi jika tunduk karena takut pada kuasa, itu adalah feodalisme.
Mencium tangan kiai bisa menjadi tabarrukan (mengharap berkah), tapi bisa juga menjelma menjadi praktik feodal bila disertai keyakinan bahwa kiai tak boleh dikritik sama sekali.
Dalam takdzim, tubuh merendah karena jiwa sedang meninggi.
Dalam feodalisme, tubuh merendah karena jiwa sedang dipaksa tunduk.

Teladan Takdzim Sejati

Sejarah Islam memberikan contoh agung tentang bagaimana takdzim tumbuh dalam ruang dialog.
Para sahabat Nabi SAW sangat menghormati Rasulullah, namun tetap berani berpikir dan berdiskusi.
Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Nabi dalam strategi Perang Badar. Salman al-Farisi bahkan mengusulkan taktik parit (khandaq) yang akhirnya diterima Nabi.

Rasulullah tidak marah. Sebaliknya, beliau mengajarkan bahwa adab sejati adalah berpikir dengan hormat.
Takdzim dalam Islam bukan tunduk tanpa nalar, tetapi hormat dengan akal sehat.

Kasus Trans7: Cermin Salah Paham

Tayangan Trans7 yang memelesetkan relasi santri dan kiai sesungguhnya lahir dari ketidaktahuan terhadap nilai takdzim.
Bagi sebagian masyarakat luar pesantren, hubungan santri dan kiai tampak seperti feodal—tunduk, patuh, mencium tangan. Tapi bagi yang memahami ruhnya, itu adalah ekspresi cinta, bukan ketakutan.
Ketika media mengabaikan konteks spiritual ini, maka yang muncul hanyalah stereotip: kiai yang otoriter, santri yang bodoh, pesantren yang kolot.

Padahal, di balik simbol-simbol itu hidup peradaban adab — sesuatu yang justru sangat dibutuhkan di tengah dunia yang serba kasar dan banal hari ini.

Takdzim adalah akar keilmuan Islam Nusantara. Ia menumbuhkan generasi yang hormat, beradab, dan berilmu.
Sementara feodalisme adalah hantu sosial yang menindas: ia membungkam nalar dan menjadikan kebenaran milik mereka yang berkuasa.
Maka tugas pesantren hari ini bukan sekadar menjaga tradisi, tapi menjaga ruh adab agar tak terjebak menjadi struktur kuasa.
Sebagaimana pesan Gus Dur – “Tradisi itu bukan untuk dipertahankan mati-matian, tapi untuk dikembangkan dengan jiwa.” Dan jiwa dari takdzim sejati adalah cinta — bukan ketakutan. ***

*) Penulis adalah aktivis Pesantren – alumni Sosiologi UGM

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda