Fenomenologi Amplop Kiai; Antara Keikhlasan dan Komodifikasi Dakwah

  • Minggu, 26 Oktober 2025
  • 52 views

PPM.ALHADI–Amplop kiai telah menjadi bagian integral pengalaman sosial-keagamaan masyarakat muslim di Indonesia. Di Pesantren, amplop kiai menjadi tradisi yang cukup kuat berjalan selama puluhan tahun mewarnai hubungan kiai dengan santri.

Dalam berbagai acara keagamaan seperti pengajian, haul, atau peringatan hari besar Islam, kerap terlihat fenomena yang sama: usai memberi ceramah, seorang da’i menerima amplop dari panitia atau jamaah. Tradisi amplop kiai begitu melekat, menjadi simbol penghormatan terhadap kedudukan ulama.

Namun, di tengah deras arus nilai-nilai modernisasi, muncul pertanyaan yang tak terkira sebelumnya: apakah amplop kiai sekadar bentuk penghormatan, penghargaan dan sedekah, atau tanda komodifikasi dakwah telah terjadi? Di sisi lain, muncul para da’i modern yang menentukan tarif ceramahnya dan menyelenggarakan event-event tausiah di hotel berbintang dengan biaya tiket masuk yang tidak biasa.

Untuk menjawabnya, kita perlu melihat lebih dalam melalui pendekatan fenomenologi, sebuah cara memahami makna sosial dari pengalaman hidup para pelakunya.
Fenomenologi, sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dan Alfred Schutz, berusaha memahami realitas sosial berdasarkan makna subjektif yang dialami individu.

Pendekatan ini tidak langsung menilai benar atau salah, tetapi mencoba memahami, menyingkap dan kemudian menyajikan bagaimana suatu tindakan sosial, termasuk keagamaan, bisa terjadi dan dimaknai dari dalam kesadaran pelaku (consciousness) sendiri.

Amplop sebagai Simbol Relasi Sosial dan Spiritual
Dalam konteks tradisi amplop kiai, fenomenologi mengajak kita menelusuri bagaimana makna pemberian dan penerimaan amplop itu dipahami oleh dua pihak utama, kiai dan santri, tanpa melibatkan prasangka moral. Sebagaimana ditegaskan Schutz dalam Phenomenology of the Social World, bahwa makna sosial suatu tindakan tidak dapat dipahami tanpa masuk ke dalam lifeworld atau dunia kehidupan para pelaku itu sendiri.

Bagi kiai dan santri, amplop bukan sekedar nilai ekonomis yang diberikan dan diterima. Ia kerap dimaknai sebagai tanda terima kasih, penghargaan, doa, dan silaturahmi. Amplop menjadi simbol hubungan spiritual antara kiai dan santri, bukan sekadar pertukaran ekonomi seperti yang tampak dipermukaan.

Dalam kesadaran fenomenologis, amplop bukan benda mati, melainkan manifestasi niat baik, penghargaan dan penghormatan terhadap ilmu. Tindakan memberikan amplop kepada kiai menjadi ekspresi kecintaan dan bentuk partisipasi sosial dalam menopang pendidikan dan dakwah Islam.

Sebagaimana dijelaskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality, bahwa realitas sosial dibangun melalui proses interaksi dan pembentukan makna kolektif. Dengan sudut pandang itu, pengalaman tradisi amplop kiai bukan sekedar kebiasaan, melainkan produk konstruksi sosial masyarakat muslim Indonesia, terutama kalangan santri, di mana nilai-nilai religius, sosial, dan ekonomi saling berkait kelindan.

Pergeseran Makna: Dari Penghormatan ke Transaksi
Namun, makna sosial tidak pernah statis. Perkembangan dunia yang mengarah kepada modernisme dan profesionalisme dakwah melahirkan da’i-dai modern dengan tarif ceramah yang ditentukan. Bahkan beberapa da’i menyelenggarakan tausiah di hotel berbintang dengan tarif yang hanya bisa terbeli orang-orang tertentu.

Seiring itu, praktik amplop kiai juga mulai menunjukkan pergeseran. Ketika undangan ceramah atau pengajian disertai kesepakatan tarif, atau ketika isi dakwah disesuaikan dengan kepentingan pihak pemberi, maka makna spiritual amplop kiai mulai berubah menjadi mekanisme transaksional.

Sosiolog Islam Indonesia seperti Bahtiar Effendy dalam Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia mencatat bahwa proses modernisasi dakwah seringkali melahirkan bentuk baru dari profesionalisasi agama. Aktivitas keagamaan menjadi bagian dari sistem ekonomi yang lebih luas dan kompleks.

Hal serupa pernah disinggung oleh Abdurrahman Wahid dalam Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan yang mengingatkan bahaya “komersialisasi agama” jika aktivitas dakwah kehilangan orientasi moralnya.

Dari perspektif fenomenologi, pergeseran ini dapat dibaca sebagai transformasi kesadaran intersubjektif. Relasi antara kiai dengan santri, dai dengan jamaah tidak lagi semata spiritual, tetapi juga pragmatis, transaksional dan ekonomis. Namun, fenomenologi tidak langsung menilainya sebagai benar atau salah. Fenomenologi hanya berusaha memahami dan menjelaskan bahwa setiap perubahan makna yang terjadi adalah respons terhadap dinamika sosial dan adanya pergeseran zaman.

Intentionalitas (al-Qashd) dan Menjaga Makna di Tengah Modernitas
Salah satu konsep kunci dalam fenomenologi adalah intentionality, yaitu kesadaran manusia yang selalu terarah pada makna tertentu. Dalam hal ini, persoalan utama bukan pada amplopnya, melainkan pada tujuan yang menyertainya.

Selama amplop diberikan dan diterima dalam semangat keikhlasan, ia tetap berada dalam koridor etika religius. Tetapi ketika amplop menjadi alat tawar-menawar, ukuran gengsi, transaksional, atau bahkan sarana untuk mengatur isi dakwah, di situlah terjadi reduksi makna spiritual. Dakwah kehilangan kemurnia niatnya dan terjebak dalam logika pasar.

Fenomenologi amplop kiai mengajak kita untuk kembali menyadari bahwa setiap tindakan sosial memiliki dimensi makna yang lebih dalam daripada yang sekilas tampak di permukaan. Dengan demikian, refleksi atas fenomena amplop kiai bukan soal pendapat dan sikap untuk melarang atau membenarkan, tetapi soal memurnikan kesadaran di balik tindakan.

Dalam masyarakat modern yang semakin pragmatis dan rasionalis, menjaga makna spiritual di tengah kebutuhan material menjadi tantangan tersendiri. Tradisi amplop kiai adalah cermin dari upaya umat Islam Indonesia menegosiasikan dua nilai yang sering kali bertolak belakang: spiritualitas dan profesionalisme, moralitas dan pragmatisme.

Seperti dikatakan Schutz, tugas ilmu sosial adalah memahami dunia kehidupan sebagaimana ia dijalani dan dimaknai oleh para pelaku. Dengan perspektif ini, fenomena amplop kiai bukanlah masalah yang harus dihilangkan, tetapi realitas sosial yang perlu terus direfleksikan agar tidak kehilangan makna dasarnya yang baik.

Masyarakat perlu terus menghargai para kiai dengan cara yang pantas, sementara para kiai juga perlu menjaga kemurnian dakwahnya dari kepentingan material. Sebab, di antara keduanya ada ruang moral yang harus dijaga: ruang keikhlasan.

Munculnya dai-dai modern dengan kriteria tarif tertentu, menyelenggarakan acara tausiah di hotel berbintang dengan biaya eklusif justru lebih potensial menjadi titik rawan komodifikasi dakwah, daripada amplop kiai yang diberikan dengan sukarela sebagai simbol penghargaan, penghormatan dan dukungan dakwah.

Penutup
Fenomena amplop kiai mengingatkan kita bahwa praktik sosial keagamaan tidak pernah bebas dari konteks sosial dan ekonomi. Amplop itu sendiri netral; Ia bisa menjadi simbol penghormatan yang ikhlas, atau tanda pragmatisme yang halus.

Semua bergantung pada kesadaran sosial yang membentuknya. Munculnya da’i-dai modern dengan penentuan tarif tertentu atau tiket mahal sebuah perhelatan tausiah di hotel berbintang, justru memperluas medan makna yang lebih mudah dipahami telah menggiring aktifitas dakwah ke dalam kubangan praktik komersialisme.

Pendekatan fenomenologi membantu kita memahami bahwa kehidupan keagamaan bukan hanya persoalan ritual, tetapi juga cermin bagaimana manusia menegosiasikan nilai-nilai spiritual di tengah realitas dunia yang semakin modernis, pragmatis, dan rasionalis. Maka, yang perlu dijaga dalam relasi kiai dengan santri, da’i dengan jamaah bukan amplopnya, melainkan makna yang menyertainya.

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda