Berdansa, Mencipta Makna: Hindia, Sartre, dan Merdeka Hari Ini

  • Senin, 18 Agustus 2025
  • 54 views

PPM.ALHADI–Setiap 17 Agustus, Indonesia merayakan kemerdekaannya. Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apa arti merdeka dalam kehidupan sehari-hari seorang warga negara? Kali ini, penulis akan menjawabnya dengan kacamata Jean Paul Sartre sembari mendengar beat dari lagu“Berdansalah, Karir Ini Tak Ada Artinya” oleh Hindia

Hindia dan Kritik terhadap Rutinitas

Lirik lagu ini dibuka dengan potret keseharian pekerja kantoran: izin pulang cepat, izin terlambat, pura-pura sakit. Semua trik kecil yang menunjukkan bahwa tak sedikit orang yang tak sepenuhnya “hidup” dalam pekerjaannya, hanya bertahan demi gaji dan status.

Bunyi lirik,
“Karir ini tak ada artinya” atau “Hidup ini tak ada artinya” juga “Maka kau bebas mengarang maknanya seorang,”

seakan menunjukkan bahwa Hindia sedang menolak mitos kesuksesan modern: karier panjang, jabatan tinggi, gaji besar, yang sering dianggap puncak makna hidup. Lagu ini mengajak kita menertawakan keseriusan palsu dunia dan, alih-alih tenggelam di dalamnya, kita baru manusia kalau kita memilih untuk berdansa—sebuah metafora untuk merayakan diri.

Sartre dan Kebebasan yang Terkutuk

Filsuf Prancis Jean Paul Sartre menyebut manusia sebagai makhluk yang “eksistensinya mendahului esensinya.” Artinya, manusia lahir tanpa tujuan bawaan. Makna hidup tidak diberikan, melainkan diciptakan melalui tindakan. Kita adalah hasil dari pilihan-pilihan yang kita ambil, bukan label, jabatan, atau stereotip sosial.

Sartre menolak gagasan bahwa manusia didefinisikan oleh kodrat, agama, atau hukum moral universal yang baku. Bagi Sartre, manusia pertama-tama lebih dahulu ada, lalu melalui pilihan-pilihan konkret dalam hidupnya, ia merumuskan dirinya sendiri. Kebebasan untuk memilih adalah hakikat manusia.

Di sinilah pertemuan dengan Hindia terasa jelas. Saat ia berkata “Lakukan apa yang kau mau sekarang, saat hatimu bergerak jangan kau larang,” Hindia menggemakan gagasan Sartre: manusia harus berani memilih, bertindak, dan menanggung konsekuensi pilihannya. Hidup tidak diberi makna dari luar, melainkan dibentuk oleh kreativitas dan keberanian kita.

Sartre menyebut kondisi ini sebagai “terkutuk untuk bebas.” Terkutuk, karena kita tidak bisa menghindari kebebasan memilih. Bebas, karena justru di sanalah letak martabat manusia: menentukan makna hidupnya sendiri.

Tetapi, kebebasan itu bukan selebrasi tanpa resiko. Sebuah kebebasan tidak dijual terpisah dengan tanggung jawab. Banyak orang tergoda untuk lari: menyalahkan keadaan, menyalahkan orang tua, bahkan menyalahkan zaman. Sartre menyebut pelarian ini sebagai bad faith, yakni sikap menyangkal kebebasan diri sendiri demi merasa nyaman.

Kemerdekaan Personal di Hari Kemerdekaan Nasional

Bagi Indonesia, 17 Agustus adalah simbol terbebas dari penjajahan luar. Tetapi merdeka harus lebih dimaknai secara personal: terbebas dari rutinitas yang mencekik, dari definisi sempit tentang sukses, dari peran-peran sosial yang memenjarakan.

Bagi penulis, “Berdansalah” bukan ajakan untuk apatis, melainkan dorongan produktif: ciptakan makna hidupmu sendiri, jangan hanya menjadi roda kecil di mesin besar. Kemerdekaan personal berarti berani menulis jalan hidup yang otentik—menjadi seniman, aktivis, peneliti, santri, atau apapun—sepanjang itu adalah hasil pilihan sadar, bukan keterpaksaan.

Musik sebagai Manifesto Generasi

Di titik ini, filsafat dan musik saling bertemu. Sartre dengan gagasannya yang tegang, Hindia dengan liriknya yang manja dan tajam. Keduanya berbicara soal hal yang sama: keberanian untuk menerima kebebasan dan tanggung jawab.

Hindia tidak sekadar membuat lagu pop alternatif yang enak didengar, melainkan menyelipkan manifesto eksistensial. Dari Sartre, ia meminjam semangat: manusia bebas, dan kebebasan itu harus dipertanggungjawabkan lewat penciptaan makna yang produktif.

Di Hari Kemerdekaan, pesan ini terasa makin relevan. Merdeka bukan hanya urusan negara, melainkan urusan individu. Hindia dan Sartre sama-sama mengingatkan: hidup ini tak ada artinya—maka ciptakanlah artinya. Jika Sartre akan dawuh “Kamu adalah pilihanmu” maka Hindia akan menerjemahkannya “Hidup ini tak ada artinya, maka kau bebas mengarang maknanya seorang”.

Dan dalam proses itu, barangkali berdansa adalah langkah pertama untuk mengingat bahwa kita adalah manusia merdeka. MERDEKA…!

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda