
PPM.ALHADI–Demo besar di Kabupaten Pati beberapa hari lalu adalah bukti mutakhir bagaimana manusia, begitu larut dalam massa, terjerat godaan paling tua setelah wanita: kekuasaan. Ribuan orang berjejal di alun-alun, suara meninggi, spanduk menjulang—semuanya menandakan pergeseran singgasana. Ketika wibawa institusi formal melemah, kekuasaan itu pun pindah ke jalanan.
Tulisan ini tak hendak mengklarifikasikan jenis massa apa saja yang terkumpul di dalamnya. Tulisan ini lebih tertarik mengomentari watak manusia, siapa pun dia ketika tengah berkumpul menjadi massa.
Dari situ, ada bahasa baru yang boleh jadi melanggar sumpah pemuda untuk berbahasa indonesia sebagai bahasa yang satu. Yap! Bahasa massa.
Kalau kata Pak Prie GS, Pemassaan (pe-massa-an), sebetulnya terjadi karena tuntutan untuk menjadi lebih berkuasa. Nah, diksi “tuntutan” yang dipakai oleh Pak Prie menunjukkan kalau si ‘dia’ dan si ‘dia’, si ‘petani’ dan si ‘guru honorer’, atau siapapun yang akhirnya berkumpul dalam suatu massa itu bergerak karena suatu ‘keterpaksaan’. Tentu merupakan hal yang maklum, bahwa ‘keinginan’ sama sekali tidak beriris dengan ‘keterpaksaan’.
Kemudian, karena elemen-elemen dalam massa itu, ketika dipisah dan diurai adalah pihak-pihak yang relatif tak berdaya. Mereka, pihak yang gagal percaya pada lembaga, maka untuk membuat akses, mereka perlu menjadi massa. Mereka yang sendirian merasa kecil di hadapan institusi yang makin tak dipercaya. Maka, satu-satunya cara menambah bobot adalah dengan bergabung.
Pemassaan, dalam arti ini, adalah jalan terakhir: ketika pintu-pintu formal tertutup, ketika komunikasi macet, ketika pemerintah lupa bahwa warga tak bisa ditangani dengan angka dan instruksi semata.
Itulah mengapa di Pati, meskipun Bupati buru-buru membatalkan rencana kenaikan PBB, massa tetap turun ke singgasananya (red; jalanan). Sebab, kata Pak Prie, massa yang turun jalan tidak hanya sedang memperjuangkan suatu tujuan, tetapi juga kejengkelan dan dendam. Yang dikepal oleh warga Pati bukan sekadar protes soal angka pajak, tetapi akumulasi kejengkelan: mulai dari kebijakan sekolah, regrouping, hingga keangkuhan Sudewo saat menantang warganya sendiri.
Oleh karena itu, sifat massa sangat sensitif dan sangat berbau kemarahan. Massa dengan kekuasaan memiliki ragam bahasa. Bahasa paling lunak adalah persuasi, kemudian meningkat menjadi agitasi, dan kalau perlu bisa berubah menjadi kekerasan dan anarki.
Ketika wibawa hukum belum tegak sempurna, osaat itulah gerakan massa akan menjadi euforia. Gerakan itu lalu menjadi bahasa komunikasi yang baru. Melihat peta masalah yang dihadapi negeri ini, sepertinya kita masih akan memakai “bahasa massa” untuk waktu yang relatif lama.
Kenapa? karena inilah bahasa yang disukai atau tidak, berhasil memaksa kekuasaan harus berani berhitung. Karena benar atau keliru, seseorang pasti akan menolak didemo massa. Urusan mundur setelah didemo, belum tentu. Ya kan, Pak Sudewo?
Bangsa ini memang pernah berutang pada gerakan massa. Karena hanya dengan bahasa itulah rakyat berhasil membuat bargaining dengan penguasanya. Dengan bahasa itulah bangsa ini berhasil menggoyang kaum established, kaum yang disinyalir memperoleh kemapanan secara tak wajar. Namun, sampai kapan bahasa ini harus dipertahankan? Potret peradaban seperti apakah yang kita miliki kalau komunikasi baru bisa berjalan setelah dipaksa oleh agitasi.
Mari kita khawatir, jangan-jangan bahasa ini akan menjadi candu. Kita juga perlu khawatir kalau kebencian atas keangkuhan akan melahirkan keangkuhan baru. Kita lalu akan menjadi hakim yang enteng memvonis apa saja dengan bekal massa, seakan jumlah kepala adalah kebenaran itu sendiri. Mari kita kenang kembali berbagai korban sia-sia yang harus menjadi tumbal komunikasi yang pedih ini.
Gerakan massa kita butuhkan sebatas untuk penyadaran atas asas keseimbangan. Bahwa yang terlalu tinggi harus direndahkan, yang terlalu ke pinggir harus ditengahkan, dan yang terlalu maju harus dimundurkan.
Selama ini kita memang kehilangan komunikasi sehingga banyak manusia menjadi serba terlanjur: terlanjur terlalu tinggi, terlalu kaya, dan terlalu berkuasa. Pendek kata, inilah negeri yang di dalamnya hal yang serba terlalu muncul menjadi era.
Demo Pati menunjukkan betapa bahasa massa masih kita pakai karena cara lain gagal. Pertanyaannya, sampai kapan? Mari kita memperjuangkan bahasa yang kita rindukan: bahasa yang jauh dari risiko kekerasan, sebelum kita terlanjur percaya bahwa kerumunan marah adalah satu-satunya kamus politik yang kita miliki.
- Disclaimer: Tulisan ini ditulis sambil ingat-ingat lupa salah satu bukunya Prie GS. Bukunya kebetulan bukan milik saya, tapi milik Umik Fifi. Dulu saya ambil pas beberes etalase buku ndalem wetan, tanpa izin resmi. Maklum, konon, anak muda kalau haus bacaan sering kalah gesit dari dompetnya sendiri. Sekarang buku itu malah entah di mana. Semoga segera kembali, karena kehilangan buku kadang lebih nyesek daripada kehilangan korek.