
PPM.ALHADI– Dalam kitab Tarikh Baghdad, Imam Khatib Al-Baghdadi menukil riwayat tentang Imam Abu Hanifah.
Suatu ketika ibu dari Imam Abu Hanifah bertanya dan meminta fatwa tentang sesuatu persoalan. Dengan kepakaran ilmu fikihnya, Abu Hanifah langsung memberi jawaban dan fatwa. Tapi sang ibu tidak menerimanya.
“Aku tidak akan menerima fatwa kecuali yang disampaikan Zur’ah Al-Qash,” ujar ibu Abu Hanifah.
Zur’ah Al-Qash adalah seorang tukang dongeng di masjid. Bukan pakar di bidang hukum syariah sebagaimana Imam Abu Hanifah.
Mendengar pernyataan sang ibu, Imam Abu Hanifah tidak perlu membantahnya. Beliau segera mengantar sang ibu ke tempat Zur’ah.
“Wahai Zur’ah, ini ibuku. Aku mengantarnya ke sini, karena ia meminta fatwa darimu dalam masalah begini dan begini…” ujar Abu Hanifah.
Zur’ah kaget. “Wahai Imam Abu Hanifah, engkau lebih berilmu dan lebih memahami ilmu fikih dibandingkanku. Seharusnya engkaulah yang memberinya fatwa,” jawab Zur’ah.
“Aku telah memberinya fatwa begini dan begini, tapi ia tidak menerimanya. Ibuku ingin mendengar fatwa darimu,” ungkap Abu Hanifah.
“Baiklah. Ucapanku sebagaimana yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah,” ujar Zur’ah kepada ibu Imam Abu Hanifah.
Mendengar jawaban itu, sang ibu lega. Ia bisa menerima pendapat Zur’ah dan segera meninggalkan rumah Zur’ah.
Kisah di atas mengajarkan sikap kerendahhatian atau tawadhu orang-orang salih terdahulu. Ada kerendahhatian yang dicontohkan Imam Abu Hanifah dan Zur’ah Al-Qash.
Sikap rendah hati Imam Abu Hanifah ditunjukkan dengan tidak membantah ibunya apalagi memarahi, saat sang ibu tidak menerima fatwanya. Beliau dengan ringan langsung mengantar sendiri ibunya untuk menemui Zur’ah Al-Qash.
Abu Hanifah merasa tidak perlu membujuk sang ibu untuk mempercayai fatwanya dengan menyatakan bahwa dirinya adalah ahli fiqih yang hebat, atau merasa diri sebagai ulama besar. Abu Hanifah juga tidak mengatakan kepada sang ibu bahwa Zur’ah bukanlah seorang ulama.
Padahal, dalam kepakaran ilmu fikih, Imam Syafi’i pun memuji Abu Hanifah. “Dalam bidang fikih, semua orang membutuhkan Abu Hanifah,” ujar Imam Syafi’i.
Sedangkan kerendahhatian Zur’ah ditunjukkan dengan ucapan, “Engkau lebih berilmu dan lebih memahami ilmu fikih dibandingkan dengan aku”. Zur’ah tidak merasa sombong karena didatangi Imam Abu Hanifah dan ibunya untuk meminta fatwa kepadanya. Juga tidak merendahkan Abu Hanifah.
Ketika memberi jawaban, Zur’ah tidak menggunakan kata “aftaituki” (aku berfatwa kepadamu). Ia memilih kalimat, “al-qaul kama qala Abu Hanifah”, bahwa ucapanku sama seperti ucapan Abu Hanifah. Penggunaan kata “al-qaul” (perkataan) menunjukkan kesadaran Zur’ah, bahwa ia bukanlah sosok yang pantas mengeluarkan fatwa.
Di sisi lain, Imam Abu Hanifah tidak khawatir penilaian orang. Bisa saja banyak orang akan menggunjingnya. Sebagian orang bisa saja menyatakan, “Ibunya saja tidak percaya dengan fatwa Abu Hanifah, bagaimana orang lain?”
Tindakan Abu Hanifah mengantar sang ibu adalah sebentuk birrul walidain dan adab yang mulia terhadap ibu. Bagi Abu Hanifah, berbakti kepada ibu jauh lebih penting dari kedudukannya dalam ilmu agama.
