Ngaji Pasanan Kitab Tanbīhul Mughtarrīn (Eps.10)

  • Senin, 24 Maret 2025
  • 99 views

PPM.ALHADI–Pada episode ke-10 dari series ngaji pasanan kitab Tanbīh al-Mughtarrīn bersama Abah Anis kali ini menyuguhkan pelajaran berharga tentang akhlak para ulama terdahulu.

Mereka bukan sekadar ahli ibadah, tetapi juga manusia yang penuh kebijaksanaan dalam menyikapi dunia, adil dalam berbagi rezeki, menjaga adab terhadap ilmu, serta memiliki kesadaran mendalam akan hakikat ibadah mereka.

Kearifan Ulama dalam Berbagi Rezeki

Salah satu keistimewaan para ulama terdahulu adalah sikap mereka dalam menghadapi rezeki, baik yang datang dari rakyat maupun penguasa. Mereka tidak pernah menumpuk harta untuk diri sendiri, tetapi selalu membaginya dengan orang lain. Jika ada seseorang yang membantu mereka mendapatkan rezeki, mereka pun akan berbagi dengan adil, setengah atau seperempat.

Terlebih jika rezeki itu berasal dari penguasa, mereka tidak serta-merta menolaknya, karena memahami bahwa sikap seperti itu bisa menimbulkan fitnah. Harta penguasa sering kali bercampur dengan hal yang syubhat, tetapi menolaknya secara terang-terangan bisa menimbulkan permusuhan atau salah paham di tengah masyarakat.

Karena itu, mereka mengambilnya dengan penuh kehati-hatian, memastikan bahwa seluruhnya akan mereka bagikan kepada orang lain agar keberkahannya tetap terjaga.
Sikap ini sejalan dengan pernyataan Imam al-Ghazali:

الْمُلْكُ وَالدِّينُ تَوْأَمَانِ، فَالدِّينُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُومٌ، وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعُ
“Kekuasaan dan agama itu adalah saudara kembar. Agama adalah pondasinya, dan penguasa adalah penjaganya. Tanpa pondasi, kekuasaan akan runtuh. Dan tanpa penjaga, agama akan lenyap.”

Para ulama memahami bahwa menolak mentah-mentah pemberian penguasa bisa merusak hubungan antara agama dan kekuasaan. Sebaliknya, menerima dengan kehati-hatian dan membaginya kepada yang berhak adalah bentuk kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan antara agama dan negara.


Namun, di zaman ini, sering kali terjadi ketidakadilan. Ada orang yang mencari keuntungan bagi seseorang, tetapi ketika rezeki itu tiba, mereka tidak diberi bagian sedikit pun. Lebih parah lagi, ada yang justru mencelakai orang yang membantunya, seperti mengadukan ulama kepada penguasa hanya karena menginginkan bagian lebih besar.

Inilah bentuk ketamakan yang merusak, sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu, di mana seorang ulama difitnah hingga dijuluki “rakus besar” oleh hakim dan masyarakat.

Memandang Calon Istri: Keseimbangan antara Syariat dan Adab

Salah satu pembahasan menarik dalam Tanbīh al-Mughtarrīn adalah tentang nazhar—memandang calon istri sebelum menikah. Islam membolehkan seorang lelaki untuk melihat calon istrinya sebelum akad, agar ia mengetahui kecocokan dan tidak menyesal di kemudian hari. Ini bukan sekadar perkara keinginan semata, tetapi bagian dari kebijaksanaan dalam memilih pasangan hidup.


Nabi Muhammad ﷺ sendiri menganjurkan hal ini dalam hadis:
“إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ ٱلْمَرْأَةَ، فَإِنِ ٱسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَىٰ مَا يَدْعُوهُ إِلَىٰ نِكَاحِهَا، فَلْيَفْعَلْ”
“Jika salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita, maka jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang bisa membuatnya menikahinya, hendaklah ia melihatnya.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)


Namun, Islam juga mengajarkan batasan dalam hal ini. Tidak boleh memandang dengan syahwat atau berlebihan. Para ulama sepakat bahwa nazhar harus dilakukan dengan tujuan yang jelas—bukan sekadar memuaskan rasa penasaran.

Para ulama terdahulu memahami keseimbangan ini dengan sangat baik. Ada yang hanya melihat wajah dan telapak tangan, karena itu cukup untuk mengetahui kecantikan dan kesehatan calon istri. Ada pula yang menilai berdasarkan keterangan dari wali atau keluarganya.

Namun, ada juga yang terlalu berlebihan dalam nazhar, hingga justru terjebak dalam kebiasaan buruk. Imam al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa mata adalah jendela hati. Jika digunakan dengan benar, ia membawa keberkahan. Tetapi jika digunakan sembarangan, ia bisa menjadi jalan menuju kebinasaan.


Hal ini sejalan dengan firman Allah:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ
“Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nūr: 30)

Di zaman sekarang, banyak yang salah memahami konsep nazhar. Ada yang merasa tidak perlu melihat sama sekali, sehingga setelah menikah justru kecewa. Ada pula yang terlalu bebas, hingga sebelum menikah sudah berpegangan tangan dan berdua-duaan.


Ulama terdahulu mengajarkan keseimbangan. Mereka melihat secukupnya, bertanya kepada orang terpercaya, lalu menyerahkan keputusan kepada Allah. Sebab, pernikahan bukan sekadar perkara fisik, tetapi juga akhlak, agama, dan kesiapan hidup bersama.


Dengan memahami ini, kita bisa meneladani para ulama—memegang syariat tanpa kehilangan adab, dan mencari pasangan dengan niat yang benar, bukan hanya karena hawa nafsu semata.

Menjaga Adab terhadap Guru dan Ilmu

Selain adil dalam rezeki, para ulama juga memiliki akhlak yang sangat tinggi terhadap ilmu dan guru mereka. Seorang yang mengajarkan satu ayat atau satu surat kepada mereka ketika kecil tetap dihormati sepanjang hidup.

Mereka tidak akan melangkahi gurunya saat berkendara, bahkan setelah menjadi ulama besar sekalipun. Mereka juga tidak segan membantu kebutuhan guru mereka, baik berupa pakaian, makanan, maupun bantuan lainnya.

Dikisahkan bahwa seorang ulama besar, Abu Zaid al-Qairawani, memberikan seratus dinar kepada guru anaknya yang hanya mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an. Ketika sang guru merasa itu terlalu banyak, Abu Zaid justru memindahkan anaknya ke guru lain. Baginya, orang yang meremehkan nilai pengajaran Al-Qur’an adalah orang yang tidak menghargai ilmu.

Di zaman sekarang, adab seperti ini mulai luntur. Banyak orang yang merasa cukup hanya dengan membayar guru tanpa memberikan penghormatan yang layak. Lebih buruk lagi, ada yang meremehkan guru mereka setelah mendapatkan ilmu. Jika ulama terdahulu berusaha menjaga hubungan dengan guru-guru mereka hingga akhir hayat, kita justru sering melupakannya begitu saja setelah merasa cukup pintar.

Ibadah yang Penuh Kesadaran

Satu lagi kebijaksanaan ulama yang patut diteladani adalah kesadaran mereka dalam beribadah. Meski mereka mengerjakan shalat malam hingga kaki mereka bengkak, mereka tidak pernah merasa memiliki “kelebihan” ibadah. Sebaliknya, mereka menganggap ibadah sunnah yang mereka lakukan hanyalah upaya menambal kekurangan dalam ibadah wajib.


Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةًۭ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا
“Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”(QS. Al-Isrā’: 79)


Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang ma‘ṣūm, tidak punya kekurangan dalam ibadahnya. Namun, Allah tetap memerintahkannya untuk bertahajud sebagai ibadah tambahan. Apalagi kita yang penuh dengan kekurangan?


Sayangnya, di zaman ini, ada orang yang justru berbangga dengan ibadah sunnah mereka. Mereka merasa lebih mulia daripada yang lain hanya karena rajin puasa Senin & Kamis atau shalat malam. Padahal, ulama terdahulu yang jauh lebih tinggi ilmunya tidak pernah merasa seperti itu.

Imam as-Sya’roni melalui kitabnya, Tanbīh al-Mughtarrīn ini mengajarkan kita untuk meneladani kebijaksanaan para ulama terdahulu. Mereka bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga manusia yang adil dalam berbagi rezeki, memiliki adab tinggi terhadap ilmu, serta penuh kesadaran dalam ibadah mereka.
Namun, di zaman ini, banyak dari nilai-nilai tersebut mulai hilang.

Ketamakan merajalela, penghormatan terhadap guru memudar, dan ibadah sering kali dijadikan ajang pamer. Sudah sepatutnya kita bercermin pada akhlak ulama terdahulu, bukan hanya untuk mengagumi mereka, tetapi untuk benar-benar mengamalkan warisan mereka dalam kehidupan kita.

Wallahu A’lam

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda