
PPM.ALHADI–Aku berjalan di terminal keberangkatan, langkahku berat. Ramadan, sosok yang selama sebulan terakhir mengubah ritme hidupku, kini bersiap pergi. Di tangannya, tiket sekali jalan.
“Aku harus pergi,” katanya dengan nada lembut, tapi tegas. “Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus kau dengar.”
Aku mengangguk, menunggu, seperti seorang murid yang tahu ini adalah wejangan terakhir gurunya.
“Wahai hamba Allah, Ramadan hampir usai. Siapa yang telah berbuat baik, maka sempurnakanlah. Siapa yang lalai, maka perbaikilah di akhirnya. Sesungguhnya amalan itu tergantung akhirnya. Simpanlah amal saleh sebagai saksi yang akan membelamu di hadapan-Nya.” – Ibnul Qayyim
Aku menunduk. Apakah aku sudah memanfaatkan kehadirannya dengan baik? Atau aku kembali menjadi seseorang yang hanya tersadar di detik-detik terakhir?
Ramadan menepuk pundakku. “Jangan tertipu dua kali dalam jebakan yang sama.”
Panggilan terakhir untuk penerbangan terdengar. Ramadan melangkah menuju gerbang, melambaikan tangan sebelum akhirnya menghilang.
Aku menarik napas panjang. Tak ada waktu untuk meratapi perpisahan. Karena di terminal kedatangan, seseorang sedang dalam perjalanan ke sini.
Aku kini duduk di terminal kedatangan, menunggu tamu berikutnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang sosok dengan sesimpul senyum melangkah keluar.
“Hai! Lama menunggu?” katanya santai.
Aku mengenalnya dengan baik. Syawwal, atau lebih sering kupanggil Idulfitri.
Kami berjalan bersama, berbincang ringan. Namun, nasihat Ramadan terus berputar di pikiranku. Aku tahu, Idulfitri bukan hanya soal perayaan. Ia bukan selebrasi tanpa makna.
Sebelum pulang, aku mengajaknya makan. Opor, lontong, rendang, semuanya tersaji. Di tengah suapan, Idulfitri bersandar ke kursinya dan berkata,
“Dulu, orang-orang shalih menyambutku dengan gembira. Tapi mereka tidak pernah meninggalkan kebiasaan baik yang mereka bangun bersama Ramadan. Itulah kemenangan sejati.”
Aku mengangguk. “Mereka tidak menjadikan Ramadan sebagai sekadar rest area, tapi sebagai garis start menuju kehidupan yang lebih baik.”
Idulfitri tersenyum. “Maka jadilah seperti mereka. Jangan biarkan Ramadan hanya menjadi kisah romantis sesaat. Bawalah semangatnya sepanjang tahun.”
Aku menatap hidangan yang hampir habis di meja. Inilah esensi Idulfitri—bukan sekadar hari raya, tapi awal dari perjalanan baru. Aku tersenyum dan mengajak Idulfitri pulang. Kali ini, aku benar-benar mengerti arti kemenangan.
“Ramadan bukan sekedar reset data, lalu kita isi penuh lagi pada 11 bulan setelahnya. Ramadan itu upgrade sistem—menambah kapasitas iman, meningkatkan performa amal, dan anti buffering menuju amal baik.”