
PPM.ALHADI–Pada episode kali ini, Abah Anis membahas tentang satu sikap penting dari ulama dan salaf ash-shalih, yaitu kebiasaan mereka mengintropeksi diri setiap waktu, membersihkan diri dari sifat-sifat orang munafik dan menghiasi diri dengan sifat-sifat orang mukmin.
Dalam kitab Tanbihul Mughtarrin, disebutkan tentang ciri-ciri orang yang beriman, sebagaimana yang termaktub dalam Al- Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW:
فمن جملة صفات المؤمنين ما ذكره الله تعالى في كتابه العزيز بقوله عز وجل: (التائبون العابدون الحامدون السائحون الراكعون الساجدون الآمرون بالمعروف والناهون عن المنكر والحافظون لحدود الله وبشر المؤمنين)”
“Sebagian sifat orang beriman adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Ta’ala dalam kitab-Nya yang mulia: (Orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, mengembara, ruku’, sujud, menyuruh kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menjaga batas-batas Allah. Berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman – QS. At-Taubah: 112).”
Dalam lanjutan teksnya, kitab ini juga menyebutkan hadis Rasulullah SAW:
“لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه”
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”
Dari sini kita bisa belajar bahwa iman itu tidaklah berhenti pada aspek ritual, tapi ia juga memperhatikan aspek sosial kita. Yang dimaksud adalah, selalu menginginkan dan mengusahakan kebaikan terjadi pada orang lain, sebagaimana kita selalu berharap mendapat kebaikan untuk diri kita sendiri.
Lalu ada nasihat dari Umar bin Khattab RA, sang Amirul Mukminin yang sangat tawadhu’. Beliau berkata:
“إذا رأيتموني زغت عن الطريق فقوموني وانصحوني”
“Kalau kalian melihatku menyimpang dari jalan yang benar, luruskan aku dan beri aku nasehat.”
Betapa luar biasanya Umar! Walaupun beliau seorang pemimpin besar, beliau tidak segan meminta umatnya untuk menegurnya jika salah. Ini pelajaran besar tentang pentingnya rendah hati dan terbuka pada kritik.
Dan juga tidak kalah penting sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Muadz terkait sikap yang harus dimiliki oleh orang-orang mukmin, sebagaimana perkataannya:
“أن يكون كثير الحياء، قليل الأذى، كثير الخير، قليل الفساد، صدوق اللسان، قليل الكلام، كثير العمل، قليل الزلل، قليل الفضول. كثير البر للرحم، وصولا، وقورا، شكورا، كثير الرضا عن الله إذا ضيق عليه الرزق، حليما رفيقا باخوانه، عفيفا شفوقا، لا لعانا ولا سبابا ولا عيابا ولا مغتابا، ولا نماما ولا عجولا، ولا حسودا ولا حقودا، ولا متكبرا ولا معجبا، ولا راغبا في الدنيا، ولا طويل الأمل، ولا كثير النوم والغفلة، ولا مرائيا، ولا منافقا، ولا بخيلا، هشاشا بشاشا، لا خساسا ولا جساسا، يحب الله، ويرضى في الله، ويغضب لله، زاده تقواه، وهمته عقباه، وجليسه ذكراه، وحبيبه مولاه، وسعيه لأخراه.
“Seorang mukmin itu memiliki banyak rasa malu, sedikit menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, sedikit kerusakannya, jujur lisannya, sedikit berbicara, banyak amalnya, sedikit kesalahannya, sedikit rasa ingin tahunya yang tidak perlu.
Dia banyak berbuat baik kepada keluarga, menjaga silaturahmi, penuh wibawa, bersyukur, banyak ridha kepada Allah ketika rezekinya sempit, penyabar, lembut kepada saudaranya, menjaga kehormatan dirinya, penuh kasih sayang, tidak suka melaknat, tidak suka mencela, tidak suka mencibir, tidak menggunjing, tidak suka mengadu domba,
tidak terburu-buru, tidak iri hati, tidak dengki, tidak sombong, tidak bangga diri, tidak rakus terhadap dunia, tidak panjang angan-angannya, tidak suka tidur berlebihan, tidak lalai, tidak pamer, tidak munafik, tidak pelit.
Dia ramah, murah senyum, tidak hina, tidak suka mencari-cari kesalahan, mencintai Allah, ridha karena Allah, marah karena Allah, takwanya bertambah, cita-citanya adalah akhirat, temannya adalah dzikir, kekasihnya adalah Allah, dan segala usahanya untuk akhiratnya.”
Kalau diperhatikan, Yahya bin Mu’adz benar-benar memberi kita cetak biru menuju mukmin sejati. Mukmin itu banyak malu, tapi bukan karena minder, melainkan karena kesadaran bahwa dirinya diawasi Allah. Dia tidak mau menyakiti orang lain, bahkan dalam hal kecil.
Mukmin juga banyak melakukan kebaikan, tapi tidak pamer dan pamrih. Kalau dia melakukan kesalahan, dia cepat sadar dan langsung memperbaikinya. mukmin adalah yang menjaga lisannya, berbicara seperlunya saja, dan lebih banyak amal nyata dibanding omong kosong belaka.
Mukmin sejati juga peduli dengan keluarganya. tidak pelit, dan selalu menjaga silaturahmi. Bersyukur dalam setiap kondisi, dalam lapang dan sempitnya, suka dan dukanya.
Lanjut, Yahya menambahkan bahwa mukmin itu pandai mengendalikan emosinya, jauh dari menggunjing, dan hatinya bersih dsri kebencian. Dia ramah, murah senyum, tidak shka mencari-cari kesalahan orang lain. Dia juga fokus ke akhirat, dunia bukanlah hal yang menggoda. Hidupnya adalah dzikir, temannya adalah ingat kepada Allah, dan cintanya hanya untuk-Nya.
Sungguh apa yang disajikan oleh Imam asy-Sya’roni dan disuguhi oleh Abah Anis menjadi tamparan sayang kepada kita. Sibuk kepada dunia membuat kita lupa dengan kehidupan yang sebenar-benarnya. Tapi, tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik.
Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah yang dikenal dengan keadilan dan kesederhanaannya, menyatakan:
“قوة المؤمن في قلبه، وقوة الكافر والمنافق في يده.”
“Kekuatan seorang mukmin ada di hatinya, sedangkan kekuatan orang kafir dan munafik ada di tangannya.”
Hal ini mengajarkan bahwa mukmin sejati memiliki kekuatan yang berasal dari iman yang kokoh di dalam hatinya. Hati yang dipenuhi takwa memberikan keberanian, ketenangan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup. Sebaliknya, kekuatan orang kafir dan munafik hanya terletak pada kekuasaan duniawi yang sifatnya sementara.
“من علامة المؤمن أن يفعل الطاعات، ومع ذلك يبكي. ومن علامة المنافق أن ينسي العمل ثم يضحك.”
Nasihat penting dari seorang ulama besar,
“Tanda seorang mukmin adalah ia melakukan ketaatan kepada Allah, namun tetap menangis. Sedangkan tanda seorang munafik adalah melupakan amalannya lalu tertawa.”
Hatim bin Ashom
Di akhir pembahasan, kitab Tanbihul Mughtarrin memberikan pesan introspektif yang mengena:
“فاعلم ذلك يا أخي، وفتش نفسك قبل موتك، وابك عليها إن وجدت فيها أخلاق المنافقين، وأكثر من الاستغفار”
“Ketahuilah hal ini wahai saudaraku. Periksalah dirimu sebelum kematian menjemputmu, dan tangisilah dirimu jika kau menemukan sifat-sifat munafik di dalamnya. Perbanyaklah istighfar.”
Pesan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa banyak sekali waktu yang kita buang hanya untuk mencari pembenaran atad apa yang telah kita perbuat. Padahal, langkah yang lebih penting adalah mengevaluasi dan memperbaiki diri.
Wallahu a’lam