
PPM.ALHADI–(28/02)- Marhaban Yaa Ramadhan… Selamat datang bulan penuh rahmat dan maghfiroh-Nya.
Ahlan , Al-Hadi Squad!!!
Artikel ini adalah series spesial Ramadhan tahun ini, akan mengulas kembali pengajian rutin Abah Anis di malam hari (ba’da tarawih) dengan kitab Tanbihul Mughtarin yang tahun lalu juga dibaca oleh beliau pada ngaji pasanan tahun sebelumnya.
Kitab Tanbīh al-Mughtarrīn adalah karya Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’roni, seorang ulama abad ke-9 H yang lebih dikenal dengan sapaan Imam Asy-Sya’roni. Kitab ini memuat kritik sosial yang dikemas dalam bentuk kumpulan qoul para sahabat dan tabi’in, serta beberapa nukilan dari Zabur dan Taurat.
Dengan gaya bahasa yang lugas namun penuh hikmah, kitab ini menyingkap berbagai tipuan dunia yang sering kali membuat manusia terlena. Pengajian ini diharapkan menjadi refleksi bagi kita semua agar lebih bijak dalam menata hati dan sikap, serta semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Pada pertemuan pertama, Abah Anis memulainya pada bab akhlak ulama’ dan salafussolih yang memiliki sifat pemaaf dan toleransi terhadap orang lain, serta sikap adil dalam menilai diri sendiri sebagaimana juga dalam menilai orang lain.
Sifat Pemaaf
Dalam kitab Tanbihul Mughtarin halaman 51
وَمِنْ أَخْلَاقِهِمْ : كَثْرَةُ الْعَفْوِ وَالصَّفْحِ …الخ
Dikatakan bahwa sebagian dari akhlak ulama’ dan salafussolih adalah murah memberi maaf dan lapang dada terhadap siapa saja yang menyakiti mereka, baik yang sifatnya menyerang fisik, perampasan harta, pencemaran nama baik, atau gangguan lainnya. Mereka tidak membalas suatu gangguan demi kepentingan pribadi, tetapi apabila hal itu melewati garis hukum Allah maka mereka akan bersikap lebih tegas.
Masih pada halaman yang sama, Abah Anis membacakan nukilan Imam Sya’roni, qoul sahabat Ja’far bin Muhammad :
وَكَانَ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: لَأَنْ أَنْدَمَ عَلَى الْعَفْوِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَنْدَمَ عَلَى الْعُقُوبَةِ.
Ja’far berkata, “Jika aku harus menyesal, maka aku lebih suka menyesal karena telah memaafkan daripada menyesal karena telah menghukum.”
Penyesalan karena memaafkan seseorang bisa jadi muncul, karena kesalahannya tetap ia ulangi. Namun, penyesalan karena menghukum bisa jauh lebih berat jika ternyata hukuman itu berlebihan atau tidak adil. Oleh karena itu, sikap memaafkan lebih baik dan disukai, karena itu lebih dekat pada kasih sayang dan akhlak mulia.
Toleransi dan adil pada diri sendiri dan orang lain
Dinukil dari Hatim Al-Asham :
وَكَانَ حَاتِمُ الْأَصَمُّ يَقُولُ : مِنْ عَدَمِ إِنْصَافِكَ أَنْ تَبْغَضَ النَّاسَ إِذَا عَصَوْا رَبَّهُمْ، وَلَا تَبْغَضَ نَفْسَكَ إِذَا عِصْتَ رَبَّهَا.
“Termasuk ketidakadilan adalah ketika engkau membenci orang lain karena mereka bermaksiat kepada Allah, tetapi tidak kau benci dirimu saat kau bermaksiat kepada-Nya.”
Betapa perkataan Hatim begitu menampar dan menyadarkan diri kita. Sering kali kita begitu mudah melihat dan menuding kesalahan orang lain tetapi sulit dan lamban saat mengakui kesalahan sendiri. Jika kita membenci orang lain karena dosa mereka, maka kita seharusnya lebih keras dalam menghukum diri sendiri dan merasa malu jika kita melakukan kesalahan.
4 Prinsip Menata Diri
Pada pembahasan selanjutnya, Abah Anis membacakan nukilan tentang hal-hal yang harus menjadi pedoman bagi kita semua dalam menata hati dan memperbaiki diri.
Pertama , keras melawan hawa nafsu yang menyeret pada kemaksiatan. Imam Abu Yazid al-Bustami berkata :
دَعَوْتُ نَفْسِي إِلَى الْعِبَادَةِ مَرَّةً فَأَبَتْ، فَعَاقَبْتُهَا فَمَنَعْتُهَا الْمَاءَ سَنَةً.
“Aku mengajak jiwaku untuk beribadah, tetapi ia menolak. Maka aku menghukumnya dengan tidak memberinya air selama setahun.”
Kedua, Balaslah suatu keburukan dengan kebaikan. Syaikh Al-Mada’ini berkata :
أَقْبَحُ الْمُكَافَأَةِ الْمُجَازَاةُ بِالْإِسَاءَةِ.
“Seburuk-buruk balasan adalah membalas keburukan dengan keburukan.”
Ketiga, Kesabaran adalah pangkalnya cinta. Selaras dengan perkataan At-Taimi:
كَثْرَةُ الْاحْتِمَالِ تُورِثُ الْمَحَبَّةَ.
“Banyak bersabar akan menumbuhkan rasa cinta.”
Keempat, rendahkan hati dalam memaafkan orang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Zubair:
وَأُدْخِلَ عَلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ رَجُلٌ قَدْ أَحْدَثَ أَيْ أَذْنَبَ، فَدَعَا بِالسِّيَاطِ لِيَضْرِبَهُ، فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ : أَسْأَلُكَ بِمَنْ تَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَيْنَ يَدَيْهِ أَذَلَّ مِنِّي بَيْنَ يَدَيْكَ إِلَّا عَفَوْتَ عَنِّي. فَنَزَلَ ابْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ سَرِيرِهِ، وَأَلْصَقَ خَدَّهُ بِالْأَرْضِ، وَقَالَ : قَدْ عَفَوْتُ.
“Suatu ketika, seseorang yang telah berbuat dosa dihadapkan kepada Abdullah bin Zubair. Beliau pun bersiap untuk menghukumnya. Namun, orang itu berkata: ‘Aku memohon kepadamu, demi Dzat yang di hadapan-Nya kelak engkau akan lebih hina daripada aku di hadapanmu saat ini, maafkanlah aku.’ Maka Abdullah bin Zubair turun dari kursinya, menempelkan pipinya ke tanah, lalu berkata: ‘Aku telah memaafkanmu.'”
Di akhir ulasan, mari sama-sama kita bertanya pada diri sendiri, masihkah kita lebih sibuk menghitung kesalahan orang lain daripada memperbaiki diri? Masihkah kita berani menghukum orang lain atas dosa yang sebenarnya juga kita lakukan dalam bentuk lain?
Kita seperti seorang hakim yang tangannya kotor, tetapi tetap ingin memegang palu keadilan. Kita mencela pencuri kecil, tetapi lupa bahwa kita sendiri telah merampas hak orang lain dengan cara yang lebih halus dan sistematis. Kita ingin negeri ini makmur, tetapi tak mau menghapus kedengkian dan kebencian dalam hati.
Manusia laksana kaca. Jika kotor, ia tak mampu memantulkan cahaya. Jika ingin melihat dunia lebih jernih, mulailah dengan membersihkan diri sendiri. Jika kita ingin masyarakat yang lebih adil dan harmonis, mulailah dari kejujuran dalam menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain.
Wallahu A’lam