
PPM.ALHADI–Dalam lanjutan ngaji pasanan, Abah Anis memulai dengan awal Bab 2 yang menyoroti terhadap akhlaq para ulama’ dan salaf ash-shalih yang selalu memuliakan ilmu dan segala aspek yang berkaitan dengannya.
Merendahkan Diri di Hadapan Ilmu
Imam Asy-Sya’roni menekankan bahwa salah satu ciri utama orang-orang shalih adalah rendah hati terhadap ilmu dan sesama pencari ilmu.
وَمِنْ أَخْلَاقِهِمْ – رِضَى اللَّهِ تَعَالَى عَنْهُمْ – : شِدَّةُ هَضْمِهِمْ لِنُفُوسِهِمْ بِحَيْثُ يَصِيرُ أَحَدُهُمْ يَتَبَرَّكُ بِتِلْمِيذِهِ، وَيَحْمِلُهُ الحَمْلَةَ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَى كَوْنِهِ أَعْلَمَ مِنْ مُرِيدِهِ، أَوْ أَكْثَرَ عَمَلًا مِنْهُ بِطَرِيقَةِ الشَّرْعِ إِذَا كَانَ لَا يَخْشَى عَلَيْهِ فِتْنَةً بِذَلِكَ.
“Salah satu akhlak mereka adalah kesungguhan mereka dalam merendahkan diri, sampai-sampai seorang guru bertabarruk (mengambil berkah) dari muridnya. Mereka tidak memandang dirinya lebih berilmu atau lebih banyak amalnya dibanding muridnya, selama itu tidak menimbulkan fitnah.”
Setelah membacakan kutipan tersebut, Abah Anis menambahkan,
“Sekarang banyak yang merasa lebih tinggi karena gelar, jumlah pengikut, atau status sosial. Padahal, orang berilmu yang sejati itu seperti Imam Syafi’i, yang bahkan bertabarruk dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal.”
Beliau lalu membacakan sebuah riwayat menarik yang dinukil oleh Imam Asy-Sya’roni:
قَدْ بَلَغْنَا أَنَّ الْإِمَامَ الشَّافِعِيَّ – لَمَّا أَرْسَلَ قَاصِدَهُ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ بِأَنَّهُ سَيَقَعُ فِي مِحْنَةٍ عَظِيمَةٍ، وَيُخَلَّصُ مِنْهَا سَالِمًا – يَعْنِي مَسْأَلَةَ هَلِ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ أَمْ غَيْرُ مَخْلُوقٍ؟ فَلَمَّا أَخْبَرَهُ الْقَاصِدُ، نَزَعَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ لَهُ قَمِيصَهُ سُرُورًا بِقُدُومِ رَسُولِ الشَّافِعِيِّ، فَلَمَّا رَجَعَ الرَّسُولُ بِالْقَمِيصِ وَأَخْبَرَ الشَّافِعِيَّ بِهِ، قَالَ لَهُ : هَلْ كَانَ هَذَا الْقَمِيصُ عَلَى جَسَدِهِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَالَ : فَقَبَّلَهُ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ، وَوَضَعَهُ عَلَى عَيْنَيْهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيْهِ الْمَاءَ فِي إِنَاءِ وَعَرَكَهُ فِيهِ، ثُمَّ عَصَرَهُ وَوَضَعَ غَسَالَتَهُ عِنْدَهُ فِي قَارُورَةٍ. فَكَانَ كُلُّ مَنْ مَرِضَ مِنْ أَصْحَابِهِ يُرْسِلُ لَهُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْغَسَالَةِ، فَإِذَا مَسَحَ بِهَا جَسَدَهُ عُوفِيَ مِنْ مَرَضِهِ لِوَقْتِهِ.
“Imam Syafi’i pernah mengirim utusan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, memberitahukan bahwa beliau akan menghadapi ujian besar terkait masalah “Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan?” Imam Ahmad kemudian melepas bajunya dengan gembira (karena mendapat perhatian dan support dari gurunya) dan memberikannya kepada utusan tersebut untuk dibawa kepada Imam Syafi’i.
Saat utusan itu kembali dengan membawa baju tersebut, Imam Syafi’i bertanya, “Apakah baju ini telah menyentuh tubuh Imam Ahmad tanpa pakaian yang melapisi?” Ketika utusannya menjawab ‘Ya’, Imam Syafi’i langsung mencium baju itu, meletakkannya di matanya, lalu menuangkan air ke dalam wadah, merendam baju itu, lalu memerasnya dan menyimpan air perasannya dalam botol.
Setiap ada muridnya yang sakit, ia memberikan air tersebut sebagai bentuk tabarruk dengan tetap menyandarkan bahwa sehat dan sakit, keduanya datang dari Allah.”
Setelah mengisahkan riwayat ini, Abah Anis tersenyum, lalu berkata, “Lihatlah betapa rendah hatinya orang-orang alim zaman dahulu. Tidak ada yang merasa lebih tinggi. Sekarang? Ada yang baru belajar sedikit sudah merasa lebih hebat dari gurunya.”
Kesombongan Keilmuan di Zaman Ini
Beliau melanjutkan dengan kritik sosial yang tajam, “Sekarang ini, banyak yang mengaku ‘ulama’ tetapi lebih sibuk dengan pengikut, label, dan merasa paling benar. Seharusnya, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin ia merasa kecil.”
Beliau lalu membacakan nukilan lain dari kitab yang mengkritik fenomena orang-orang yang mempermainkan dzikir:
وَمِنْ أَخْلَاقِهِمْ – رِضَى اللَّهِ تَعَالَى عَنْهُمْ – : كَثْرَةُ الْغَيْرَةِ عَلَى ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَذْكُرَهُ أَحَدٌ وَهُوَ غَافِلٌ، وَذَلِكَ كَقَصْدِ الْوَالِدَةِ بِالذِّكْرِ تَنُوِيمَ وَلَدِهَا إِذَا سَهِرَتْ بِهِ فِي اللَّيْلِ، فَإِنَّ ذِكْرَ اللَّهِ يَجِلُّ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ.
“Salah satu akhlak mereka adalah kecemburuan besar terhadap dzikir kepada Allah, sehingga mereka tidak ingin ada orang yang berdzikir dalam keadaan lalai. Seperti ibu yang mengulang-ulang dzikir hanya untuk menidurkan anaknya yang rewel di malam hari. Karena dzikir kepada Allah lebih mulia dari sekadar alat pengantar tidur.”
Abah Anis lalu mengomentari, “Sekarang banyak yang berdzikir hanya untuk tujuan duniawi. Ada yang membaca shalawat bukan untuk mendekat kepada Allah, tapi karena percaya bisa melariskan dagangan atau meningkatkan followers media sosial. Ini bentuk ghurur (tertipu) dalam ibadah.”
Sebagai penutup, beliau berpesan, “Jangan sampai kita hanya terjebak dalam formalitas ibadah, tetapi kehilangan substansinya. Semoga kita termasuk orang-orang yang benar-benar rendah hati di hadapan ilmu dan ikhlas dalam beribadah.”
Wallahu A’lam