
PPM.ALHADI–Pada episode yang ke-8 ini, Abah Anis membahas tiga akhlak para ulama dan salaf as-shalih terdahulu. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang sangat menjaga perutnya, tetap ikhlas mengajar meskipun menghadapi murid yang belum benar-benar ikhlas belajar, serta memiliki keinginan kuat untuk mengamalkan ilmu dari setiap orang alim yang mereka temui.
Menjaga hidup dengan menjaga isi perut
Imam Abdul Wahhab As-sya’roni menerangkan, bahwa ulama’ terdahulu sangat menjaga perutnya, mereka menahan lapar dalam kurun waktu yang cukup lama tetapi dalam batasan yang sesuai syariat. Bahkan jika mereka tidak menemukan makanan yang halal untuk dikonsumsi, mereka memilih kelaparan sepanjang hari dan malam.
“Saat perut penuh, berbagai kesulitan dan penyakit lebih mudah menyerang tubuh kita. Selain itu, kita juga akan sulit menemukan kepekaan diri. Perumpamaan dari perut yang kosong itu seperti bedug yang tengahnya itu kosong, bunyinya menggema sampai kemana-mana, andai kata bedug itu diisi hingga penuh, maka tentu suaranya tidak akan selantang seperti saat ia kosong.
Begitu juga perut, sensitivitasnya akan lebih kuat, kepintaran diri pun akan lebih baik saat perut kosong.” terang Abah Anis setelah membacakan sebait penjelasan dari Imam asy-Sya’roni.
Diceritakan bahwa hal ini, lebih sering dilakukan saat para ulama’ sedang melakukan penyusunan karangan mereka. Karena Al-Qur’an, Hadist, Fiqh, dan banyak ilmu lainnya akan lebih cepat mudah dipahami saat perut kosong.
Syaikh Ali Asy-Syahawi berpesan kepada tiap-tiap orang yang ia temui untuk mengosongkan perutnya, ia berkata “Sesungguhnya perut yang kosong itu senjata bagi kita, orang mukmin, bahkan jika orang yang berperut kosong itu tidak taat kepada Allah, ia tetap tidak akan bisa bermaksiat kepada-Nya, karena tidak memiliki tenaga untuk berbuat maksiat.”
Diterangkan pula bahwa diantara manusia yang berpuasa sepanjang tahun adalah Syaikh Umar al-Nabtiti dan sepupunya Syaikh Abdul Qadir, terpancarlah aura yang cerah bercahaya dan mereka terlihat selalu bersemangat dalam kesehariannya.
Kemudian Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’roni berpesan :
فاتبع يا أخي سلفك في ذلك ولا تأكل إلا بعد جوع شديد، وهو أن تشتعل أمعاؤك وتصير تلذعك لعدم وجود طبيعة تشتغل بطبخها. فاعلم ذلك يا أخي.
“Maka ikutilah para salaf ash-shalih dalam hal ini, janganlah makan kecuali sesudah perut begitu lapar, yaitu saat dimana perut keroncongan, dan terasa menyakitkan karena tidak adanya bahan makanan yang bisa diolah. Ketahuilah hal ini wahai saudaraku, dan kerjakanlah.”
Menjadi guru yang ikhlas
Diantara akhlak para ulama’ dan salaf ash-shalih terdahulu yakni ketika menjadi seorang guru mereka tetap sabar dan ikhlas mengajar dan mendidik muridnya, meskipun ia tau bahwa si murid belum ikhlas dan masih setengah-setengah dalam menuntut ilmu.
Mereka, bahkan menghadap pada sang ilahi terkhusus untuk mendoakan dan memintakan agar muridnya bisa memperbaharui niatnya, dan menjadi seorang tholibil ‘ilmi yang lebih giat lagi.
Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’roni menjelaskan bahwa ilmu memiliki dua fungsi utama: pertama, untuk diamalkan, dan kedua, untuk menghidupkan syariat agama. Maka bagi seseorang yang memiliki ilmu itu akan tetap diganjar dalam keadaan apapun, baik dengan ganjaran yang sempurna maupun dengan ganjaran yang kurang sempurna.
ما حامل علم الّا هو يعمل به
Sayyid Ali Al-Khowas
“Tidaklah seseorang itu disebut berilmu kecuali ia yang mengamalkan ilmunya.”
Bahwa keutamaan seseorang yang berilmu ialah, saat dia bermaksiat dia sadar, kemudian dia akan bertaubat dan menyesali perbuatannya. Bahkan orang yang bermaksiat sekalipun bisa dikatakan sedang mengamalkan ilmu yang ia miliki, yaitu ilmu taubat. Dan memang, tetap saja, sebanyak-banyaknya ilmu seorang manusia itu pasti tidak semuanya bisa ia amalkan.
Keinginan kuat untuk mengamalkan ilmu
Pada pembahasan terakhir episode ini, Abah Anis menjelaskan akhlak para ulama’ dimana mereka memiliki keinginan yang kuat untuk mengamalkan seluruh ilmu dari semua orang alim/guru yang ditemui. Dan mereka menujukan pahala dari pengamalan tersebut untuk sang pengajar ilmu, sebagaimana halnya jika mereka membaca tentang suatu ilmu, mereka mencantumkan pahalanya untuk penulisnya.
لأن ثواب كلّ قول لقاىٔله
“Karena setiap ucapan itu adalah untuk orang yang mengucapkannya,” ungkap Abah Anis, mengutip sebuah ungkapan yang menggambarkan bagaimana ilmu yang diajarkan oleh seorang guru akan terus mengalir pahalanya selama diamalkan oleh murid-muridnya.
Wallahu A’lam