
PPM.ALHADI–Dalam lanjutan ngaji pasanan kitab Tanbīh al-Mughtarrīn, Abah Anis mengulas secara mendalam tentang akhlaq ulama’ dan salaf ash sholih yang sangat menjaga sholat malam mereka, menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Sholat Malam: Dari Sunnah Menjadi Kewajiban dalam Pandangan Para Pecinta Allah
Para ulama’ dan salaf ash-sholih tidak memandang sholat malam sebagai ibadah tambahan semata. Mereka begitu tekun hingga menjadikannya seolah-olah wajib dalam hidup mereka. Seakan hukum sunnah muakkad telah naik derajat menjadi fardhu bagi mereka.
Imam Asy-Sya’roni menceritakan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Annān termasuk salah satu ulama yang sepanjang malamnya dipenuhi dengan ibadah. Ia mendirikan sholat hingga 500 rakaat setiap malam. Sebuah jumlah yang bagi kita mungkin terdengar mustahil, tetapi bagi mereka, itu adalah hanyut dalam nikmatnya cinta.
Ummu Sulaiman binti Dawud memperingatkan bahwa mereka yang dengan sengaja tidur sepanjang malam tanpa mengerjakan sholat malam akan datang di hari kiamat dalam keadaan merugi:
وَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمَانَ بِنْتُ دَاوُدَ: يَا بُنَيَّ لَا تَنَمِ اللَّيْلَ، فَإِنَّ مَنْ نَامَ اللَّيْلَ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ مُفْلِسٌ مِنَ الْحَسَنَاتِ.
“Wahai anakku, janganlah tidur sepanjang malam, karena siapa yang tidur malam (dan tidak beribadah), maka ia akan datang di hari kiamat dalam keadaan bangkrut dari pahala.”
Bahkan, Allah pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud A.S:
وَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا دَاوُدُ كَذَبَ مَنِ ادَّعَى مَحَبَّتِي فَإِذَا جَنَّهُ اللَّيْلُ نَامَ عَنِّي.
“Wahai Dawud, sungguh dusta orang yang mengaku mencintai-Ku, tetapi ketika malam datang, ia malah tidur dan meninggalkan-Ku.”
Dusta dalam hal ini bukan hanya sekadar ucapan, tetapi juga tindakan yang bertolak belakang dengan klaim kecintaan kepada Allah.
Kritik Sosial: Generasi yang Mengabaikan Malam
Di zaman sekarang, malam lebih banyak dihabiskan untuk berselancar di dunia maya, menonton hiburan, atau tenggelam dalam lelap yang panjang. Bandingkan dengan generasi salaf, seperti Sufyan Ats-Tsauri, yang begitu disiplin dalam menjaga ibadah malamnya. Ia berkata:
وَكَانَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِذَا غَفَلَ عَنْ نَفْسِهِ فَأَكَلَ كَثِيرًا، يَقُومُ اللَّيْلَ كُلَّهُ وَيَقُولُ: إِنَّ الْحِمَارَ إِذَا زِيدَ فِي عَلَفِهِ، زِيدَ فِي تَعَبِهِ فِي بَقِيَّةِ الْأَحْمَالِ الشَّاقَّةِ.
“Jika aku lalai dan makan berlebihan, aku akan menebusnya dengan sholat malam sepanjang malam. Bukankah keledai, jika diberi makan lebih banyak, bebannya juga bertambah?”
Sungguh, betapa jauhnya kita dari semangat para pendahulu kita. Jika mereka lalai sedikit saja, mereka segera menebusnya dengan ibadah. Sementara kita? Lalai berjam-jam tetapi tetap merasa tak ada yang perlu ditebus.
Bahkan Rasulullah sendiri, yang telah dijamin keselamatannya oleh Allah, tetap mendirikan sholat malam hingga kakinya bengkak. Jika beliau yang maksum saja tidak memilih tidur panjang, bagaimana mungkin kita yang penuh dosa bisa nyenyak dalam tidur yang panjang?
Doa Para Pecinta Allah di Keheningan Malam
Setelah malam penuh dengan ibadah, para hamba yang dekat dengan Allah tidak serta-merta meminta surga, tetapi justru merasa hina dan hanya berharap dijauhkan dari neraka. Shilah bin Asyyam berdo’a:
يَا رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ، فَإِنَّ مِثْلِي لَا يَنْبَغِي لَهُ سُؤَالُ الْجَنَّةِ.
“Ya Rabb, jauhkan aku dari api neraka, karena makhluk sepertiku tidak pantas meminta surga-Mu.”
Rabi’ah Al-Adawiyah bahkan mempersiapkan dirinya untuk ibadah malam seolah sedang berjumpa dengan Sang Raja. Ia berwudhu, memakai wewangian, lalu bertanya kepada suaminya apakah ia memiliki kebutuhan. Jika suaminya berkata tidak, maka ia bangun beribadah hingga pagi. Ia berkata:
إِلَهِي، نَامَتِ الْعُيُونُ وَغَارَتِ النُّجُومُ وَأُغْلِقَتْ مُلُوكُ الدُّنْيَا أَبْوَابَهَا، وَبَابُكَ لَا يُغْلَقُ فَاغْفِرْ لِي.
“Tuhanku, mata-mata telah terlelap, bintang-bintang telah redup, pintu-pintu para raja dunia telah terkunci, tetapi pintu-Mu tidak pernah tertutup. Maka ampunilah aku.”
Begitu juga dengan Fudhail bin ‘Iyadh, yang menggambarkan pengalaman spiritualnya yang menunjukkan padanya bagaimana Allah memperhatikan para hamba-Nya yang bangun di malam hari:
وَكَانَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ يَقُولُ: بَلَغَنَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ حِينَ يَتَجَلَّى مِنَ اللَّيْلِ: أَيْنَ الْمُدَّعُونَ لِمَحَبَّتِي فِي النَّهَارِ؟ أَلَيْسَ كُلُّ مُحِبٍّ يُحِبُّ الْخَلْوَةَ بِحَبِيبِهِ؟ فَهَا أَنَا الْآنَ مُطَّلِعٌ عَلَى أَحْبَابِي يُكَلِّمُونِي عَلَى الْحُضُورِ، وَيُخَاطِبُونِي عَلَى الْمُشَاهَدَةِ، وَغَدًا أُقِرُّ أَعْيُنَهُمْ فِي جَنَّتِي.
“Diriwayatkan bahwa Allah berfirman saat turun di malam hari: ‘Di mana mereka yang mengaku mencintai-Ku di siang hari? Bukankah setiap pecinta merindukan kesendirian bersama kekasihnya? Maka inilah Aku, sekarang Aku memandang para kekasih-Ku, mereka berbicara langsung dengan-Ku, dan esok Aku akan menyenangkan mata mereka di surga-Ku.’”
Imam Asy-Sya’roni menutup bab ini dengan nasihat yang mengingatkan kita:
يَا أَخِي، فَاعْلَمْ ذَلِكَ وَاعْمَلْ بِهِ.
“Wahai saudaraku, ketahuilah ini dan amalkanlah.”
Sudahkah kita menghidupkan malam dengan ibadah? Atau justru kita lebih menikmati tidur panjang yang membuat kita bangkrut di akhirat?
Wallahu A’lam