Minggu ini sungguh cukup berkesan bagi penulis. Bagaimana tidak, setelah berziarah ke makam salah seorang ulama kharismatik di Lasem, KH. Maksum, hari ini penulis memperingati haul KH. M. Munawwir bersama santri. Kami membacakan Alquran dan tahlil, diakhiri dengan jamuan dan wedangan ala santri.
KH. Maksum adalah seorang teosof yang zuhud. Hatinya bersih dan bening, mampu menangkap dan memantulkan cahaya kedekatan dengan Tuhannya. Dikisahkan, Nabi pun hadir dalam mimpinya, menemuinya untuk beberapa kali. Ketika akan mendirikan pesantren, maupun setelahnya, ketika ia hendak berhenti berwirausaha, Nabi hadir dalam mimpi sucinya, ia berjabat tangan dengan Nabi. Selepas bangun dari tidurnya, semerbak bekas wangi tangan Nabi tercium di kedua tangannya.
Tak kalah bersih dan bening adalah hati sang istri, Ny. Hj. Nuriyah, yang diceritakan lebih dari 80 kali bertemu Nabi dalam mimpi-mimpi suci. Capaian spiritual yang membuat KH. Maksum sendiri cemburu dengan istri.
Hingga orang terdekat pun ikut merasakan kegembiraan Ny. Hj. Nuriyah di pagi hari setiap setelah bermimpi bertemu Nabi. Ny. Hj. Nuriyah pasti menyambut pagi dengan mandi, wajah yang riang dan berseri, aroma wangi semerbak di penjuru rumah yang ditinggali.
Sedangkan KH. M. Munawwir adalah sosok alim alamah yang sederhana. Ia sering tampil sehari-hari dengan kopyah dan sorban di pundaknya. Meski dalam monentum tertentu, ia tampil dengan pakaian lengkap dinas penghulu ala Keraton Yogyakarta. KH. M. Munawwir seorang ahli Alquran yang menguasai Qiraat Sab’ah.
Ia berkelana lebih dari 20 tahun di Makah dan Madinah, belajar kepada Syaikh Abdul Karim Umar Al-Badri dan lainnya, meriwayatkan bacaan ‘Ashim riwayat Hafs.
KH. M. Munawwir adalah guru Alquran para kiai dan ulama seantero Nusantara. Sanad Alquran bermuara deras kepadanya. Di antara muridnya adalah KH. Arwani Amin Kudus, KH. Muntaha Kalibeber, KH. Maksum Cirebon, KH. Umar Mangkuyudan, dan banyak kiai lainnya yang kemudian menjadi punjer Alquran Nusantara. K. Munawir terkenal dengan sikap ketawadluannya, kesantunannya, teramat memuliakan tamu-tamunya.
Sikap itu semua tercermin pada setiap murid-murid yang melanjutkan sanad keilmuannya. KH. M. Munawwir dan murid-muridnya, kata Gus Mus, betul-betul hamilul quran, sikap batin dan sikap lahirnya murni, sungguh qur’ani.
Kedua tokoh yang hari ini kita kenang ini, KH. Maksum dan KH. M. Munawwir pada akhirnya berbesan, terajut lah hubungan persaudaraan keluarga. Antara Lasem dengan Krapyak berjodoh KH. Ali Maksum putra KH. Maksum dan Ny. Hj. Hasyimah putri KH. M. Munawwir. Konon, sejak awal KH. M. Munawwir memang berhasrat memiliki seorang mantu yang alim, dan KH. Ali Maksum adalah takdir yang secara sempurna berdamai dengan harapannya.
KH. M. Munawwir sebagai penghulu Keraton Yogyakarta, dimakamkan di makam keraton, komplek masjid Dongkelan. Di sana ada makam penghulu keraton sebelumnya, K. Syihabuddin. Masjid Dongkelan adalah salah satu dari lima masjid Pathok Negoro lainnya yang ada di Mlangi, Plosokuning, Babadan dan Wonokromo.
Masjid Pathok Negoro adalah masjid yang dimaksudkan sebagai pilar kesultanan. Masjid-masjid ini dibangun sejak Sultan Hamengkubuwono I. Masjid Pathok Negoro Dongkelan hanya berjarak kira-kira 2 KM dari Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Tiga tahun penulis nyantri di pesantren yang dahulu dirintis KH. M. Munawwir dan KH. Ali Maksum. Penulis bergulat dengan ilmu-ilmu dan keteladanan.
Di pesantren ini, penulis mengenal dua kamus yang mendunia, yaitu Kamus Al-Munawwir karya KH. M. Warsun Munawwir dan Kamus Al-Ashry Karya KH. Atabik Ali, dua kiai hebat penerus generasi KH. M. Munawwir. Dua kamus ini membimbing penulis ketika sorogan dengan KH. Hilmi Muhammad dan kiai penerus lainnya, menjadi teman ketika mengeksplorasi kitab-kitab kuning maupun kontemporer di Universitas Al-Azhar, Mesir.
-AM-