Ngaji Pasanan Kitab Tanbīh al-Mughtarrīn (Eps.4)

  • Sabtu, 15 Maret 2025
  • 65 views

PPM.ALHADI–Pada malam yang ke-empat ini, Abah Anis melanjutkan pembahasan dari ngaji pasanan, kitab Tanbihul Mughtarin mengenai akhlak-akhlak para ulama’ dan salaf as-shalih terdahulu dalam menjaga adabnya terhadap orang lain, baik yang lebih rendah atau tinggi derajatnya di mata manusia lain.

Selain itu, Abah Anis juga membacakan cerita mengenai kecemburuan seorang nabi, dan juga keutamaan berbakti kepada orang tua.

Adab Terhadap Semua Orang

Imam Asy-Sya’roni menjelaskan betapa indahnya perangai para ulama’ terdahulu, yang tidak membedakan sikap dihl hadapan sesiapapun. Pada mereka yang lebih muda dan juga lebih tua, pada mereka yang jaraknya dekat maupun jauh, dan pada mereka yang awam, terlebih pada yang lebih ‘alim.

Diceritakan dari Maimun ibn Mahron, ketika diundang ke sebuah walimah (red; hajatan), ia lebih memilih untuk duduk di barisan anak kecil, yang lebih muda dan juga orang-orang miskin, ia menghindari berkumpul dengan para pejabat dan juga orang-orang kaya, padahal pada masa itu Maimun adalah ulama’ yang ditokohkan.

Bahkan sikap berbuat baik kepada sesiapapun diperintahkan oleh Allah SWT kepada nabi Musa dan Nabi Harun, dalam Q.S Taha ayat 44 ;

فقولا له قولا لينا
~maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.

“Padahal seperti yang kita semua ketahui, Fir’aun adalah sosok yang keji, ingkar dan bersifat despotis, tetapi Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar tetap bersikap baik dan bertutur lemah lembut kepadanya.” ujar Abah Anis

Sikap selalu berbuat baik tanpa pandang bulu bisa kita asah dengan terus menanamkan perasaan “orang lain lebih sempurna dan penuh kebaikan, sedangkan diri ini penuh dengan kekurangan” pada pribadi kita.

Disebutkan pula bahwasanya nabi Muhammad Saw tidak menyukai seorang muslim yang terlalu sibuk memperhatikan, mencampuri, dan mengkritik kesalahan orang lain, tetapi melupakan dirinya sendiri.

“Ketika aku bertemu dengan seseorang yang lebih tua dariku, maka ku katakan pada diriku sendiri Orang itu sudah terlebih dahulu memeluk islam dan tentu telah terlebih dahulu melakukan banyak amal sholih dibanding aku.dan saat aku bertemu dengan seseorang yang lebih muda dariku maka ku katakan Sesungguhnya aku telah lebih dahulu melakukan dosa daripada dirinya.”

berkata Bakar ibn Abdillah

Betapa kisah para ulama’ sangat mengajarkan kepada kita agar senantiasa bercermin terhadap apa yang telah diri ini lakukan selama ini.

Cemburu yang Diperbolehkan
Wahab ibnu Manbih bercerita ketika bani Israil berseteru dan ingin mengalahkan nabi Musa, Allah mengutus ribuan nabi untuk membela dan membantu nabi Musa, setelah berhasil membantu, yang terjadi berikutnya adalah para pengikut nabi Musa malah berbelok dan lebih mendengarkan nabi-nabi yang lain. Nabi Musa pun cemburu, mengetahui hal tersebut Allah langsung me-rafa’ seluruh nabi tersebut dalam sehari.
Selanjutnya Wahab menjelaskan ;

قلت: غيرة الأنبياء عليهم الصلاة والسلام محمودة لخروجهم من حظ النفوس بالعصمة، وليست إماتة الله تعالى لهؤلاء الأنبياء عقوبة، وإنما ذلك لما سبق في علمه تعالى في انتهاء آجالهم بعد مُعَاوَنتِهم لموسى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ .

Bahwa ditiadakannya para nabi-nabi tadi bukanlah bentuk hukuman dari Allah, sebab rasa cemburu atau “ghirah” para nabi adalah sifat yang terpuji karena tidak didasarkan pada kepentingan pribadi atau hawa nafsu, tetapi semata-mata demi menjaga agama Allah dan kehormatan syariat-Nya.

Pada halaman ke-57, Abah Anis membacakan nukilan Imam Asy-Sya’roni, qoul Hatim al-Asham

قد قلت اخلاق الرجال في ثلاث : تعظيم اخلاق الإخوان، و ستر معايبهم، واحتمال أذاهم.

“Hatim al-Asham menyebutkan 3 akhlak seorang muslim yang baik, yaitu ;

  1. Bisa memuliakan orang lain.
  2. Bisa menjaga rahasia-rahasia dan aib orang lain yang ia ketahui.
  3. Bisa bersabar ketika direndahkan oleh orang lain.

Keutamaan birrul walidayn
Di akhir halaman, Abah Anis membacakan kisah 2 ulama yang fokus pada berbakti terhadap orang tuanya.

Dikisahkan, Muhammad Ibnu al-Munkadiri, seorang ulama yang senantiasa menjaga solat malamnya. Pada suatu malam, ibunya mencarinya, untuk dimintai tolong memijat kaki sang ibunda, ulama tersebut pun langsung mengerjakannya, memilih menemani ibunya sepanjang malam, dan meninggalkan solat malam yang sudah menjadi kebiasaannya itu.

Kemudian, diambil dari kisah Kahamsy Ibnu Hasan, yang diceritakan sangat telaten merawat ibunya

وكان كهمش بن الحسن يقول: كنتُ أخدم أمي، وأرفع القدر من تحتها، فأرسل إلى سليمان بن علي بصرة وقال: اشتر بها خادمًا يخدم أمكَ، فأبيت وقلت: إن والدتي لم تَرْض غيرها لخدمتي وأنا صغير فكذلك لا أرضى غيري لخدمتها وأنا كبير.

Kahamsy tidak mengeluh dalam merawat ibunya yang sedang sakit, bahkan hingga membersihkan kotorannya. Mengetahui hal tersebut, Sulaiman Ibnu Ali seorang pembesar di Basroh pada masa itu menghampiri Kahamsy dan berkata:

Belilah seorang pembantu untuk melayani ibumu dengan uang dariku ini. Namun Kahamsy menolak dan berkata “Ibuku telah merawatku dengan penuh kasih sayang, tanpa meminta bantuan orang lain sedari aku kecil. Maka, sekarang ketika aku sudah dewasa, aku juga ingin melayani ibuku sendiri, tanpa menggantikan perannya dengan orang lain.”

Dari sini, dapat kita lihat, betapa para salafussolih mengajarkan kepada kita untuk tidak meninggalkan berbakti kepada orang tua, sekalipun kita telah menjadi seorang alim, atau bahkan seseorang yang memiliki harta serta kedudukan duniawi.

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda