
PPM.ALHADI–Sebab segala ketidaktahuan dan ketidak mau tahuan kita, sejarah kemerdekaan kita sering tereduksi jadi satu adegan: Soekarno membacakan teks proklamasi di Pegangsaan Timur 56, 17 Agustus 1945. Padahal, jika dilihat dari dekat, proses menuju pagi itu penuh tarik-menarik kepentingan juga debat. Jepang sudah berjanji memberikan “kemerdekaan” pada 24 Agustus—sebuah janji hadiah yang jelas tidak sejalan dengan cita-cita bangsa.
Waktu itu, Soekarno, Hatta, dan dr. Radjiman dipanggil ke Dalat, Vietnam, bertemu Marsekal Terauchi untuk membicarakan itu. Namun, golongan muda menolak: kemerdekaan tidak boleh lahir dari belas kasih penjajah.
Maka terjadilah peristiwa Rengasdengklok, 16 Agustus dini hari. Soekarno dan Hatta dibawa paksa oleh Wikana, Sukarni, Chaerul Saleh, bersama Shodanco Singgih, ke rumah Djiauw Kie Siong. Mereka didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Bung Karno menolak setengah keras: “Proklamasi harus berlangsung di Jakarta, di hadapan rakyat, bukan diasingkan di kampung.” Malam itu naskah dirumuskan di rumah Laksamana Maeda. Dan pagi 17 Agustus, proklamasi dibacakan sebagau akta lahir sebuah bangsa.
Kisah ini menunjukkan satu hal penting: kemerdekaan adalah hasil perjuangan, bukan hadiah. Karena itu, Abah Anis menegaskan dalam amanat upacara, bahwa kemerdekaan adalah nikmat yang harus kita syukuri dengan tekun.
Syukur yang tidak berhenti pada kata-kata “Alhamdulillah” atau pesta malam tirakatan. Syukur berarti menjaga, merawat, dan mengisi kemerdekaan dengan kebenaran dan kebaikan.
Hadis Nabi:
من أحيا سنتي فقد أحبني ومن أحبني كان معي في الجنة
“Barang siapa menghidupkan sunnahku, maka ia benar-benar mencintaiku; dan barang siapa mencintaiku, kelak bersamaku di surga.”
Hadis ini jika kita baca dengan perspektif kebangsaan: andai saja ucapan dan semangat para pahlawan itu direkam dalam batu dan kayu jati, maka isinya akan mengatakan bahwa menghidupkan “sunnah” perjuangan mereka adalah tanda cinta kita pada bangsa. Kita tidak sekadar menghormati mereka lewat tugu dan nama jalan, tapi dengan melanjutkan api perjuangan di zaman kita sendiri.
Para pejuang kemerdekaan itu pun meneladani Nabi. Kita ingat sabda Nabi persis sebelum hijrah ke Madinah, meninggalkan tanahbkelahirannya, Makkah:
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Engkau adalah negeri yang paling kucintai, seandainya pendudukmu tidak mengusirku, aku tak akan meninggalkanmu.”
Nabi memang akhirnya kembali dengan Fathu Makkah, tapi perjalanan itu ditempuh lewat penderitaan, peperangan, dan pengorbanan. Sama persis dengan jalan panjang para pejuang Indonesia: ada yang dibuang ke Boven Digoel, ada yang dipenjara di Sukamiskin, ada yang dieksekusi. Semua itu lahir dari satu rasa: cinta tanah air. Maka benarlah nukilan Abah Anis pada pernyataan Ibnu Taimiyyah:
“الحبّ أصل كلّ حركة”
Pertanyaan reflektifnya, apakah kita masih bisa merasakan getaran itu pada upacara 17 Agustus hari ini? Generasi kita—apalagi generasi mendatang—tidak pernah mencicipi pahit getir perjuangan pra-kemerdekaan, perang mempertahankan kemerdekaan, bahkan pergolakan awal republik.
Bagi generasi 2000-an, bahkan tragedi Mei 1998 hanyalah bab dalam buku sejarah yang bahkan (mungkin) remidi saat ujian. Di titik ini, upacara kemerdekaan berisiko berubah jadi rutinitas mekanis: baris-berbaris, hormat bendera, lalu bubar.
Yang menentukan bukan sekadar formalisme upacara, melainkan pendidikan yang menghidupkan nilai-nilai di baliknya. Pendidikan yang mengasah intelektual, spiritual, dan moral. Yang membiasakan hal-hal kecil dan hal-hal terdekat tapi konsisten hingga membentuk karakter. Tanpa itu, syukur hanya tinggal jargon, dan kemerdekaan menjadi formalitas.
Mohammad Hatta pernah mengingatkan: “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.”
Kemerdekaan sejati akan terasa jika api kecil itu dinyalakan terus di desa-desa, pesantren, sekolah, kampung-kampung. Lilin-lilin kecil inilah yang akan menjaga agar 17 Agustus tidak kehilangan maknanya, bahkan puluhan tahun dari sekarang, ketika generasi penerus hanya mengenal perjuangan lewat buku dan layar, bukan dari luka dan darah nyata.
Kemerdekaan, pada akhirnya, hanya akan bertahan jika selalu kita rawat dengan syukur, dengan pendidikan, dengan nyala lilin-lilin kecil itu. Kalau tidak, upacara tinggal jadi seremonial kosong. Bendera tetap berkibar, tapi semangatnya tertinggal.
- Disclaimer penting: Artikel ini ditulis sebagai bukti absen kehadiran saya dalam upacara kemerdekaan di PPM Al-Hadi Yogyakarta dan kemudian diharapkan juga membuka ruang renungan kritis. Btw, Abah Anis yang milik kami tanpa huruf ‘e’ ya (red; Anies).