Santri Harus Sadar Identitasnya Sebagai Santri

  • Senin, 24 Oktober 2022
  • 568 views
Santri Harus Sadar Identitasnya Sebagai Santri

PPM.ALHADI– Manusia adalah makhluk sosial, yang sedari lahir hingga mati akan terkait dan terikat dengan manusia-manusia lainya. Setiap manusia akan memosisikan dirinya sebagai bagian dari komunitas sosial mana ketika ia beridiri di suatu relasi tertentu.

Karena pada dasarnya manusia tidaklah tersusun dari identitas yang tunggal, seperti contoh seorang santri yang berasal dari jawa dan berkuliah di UIN SUKA.

Maka dalam diri orang tersebut setidakya sudah ada tiga identitas yang melekat pada dirinya. Identitas itu bisa saja muncul secara bersamaan atau hanya salah satu.

Identitas sendiri menurut Identitas mengacu pada karakter khusus individu atau anggota suatu kelompok atau kategori sosial tertentu.

Identitas berasal dari kata “idem” dalam bahasa Latin yang berarti sama. Dengan demikian identitas mengandung makna kesamaan atau kesatuan dengan yang lain dalam suatu wilayah atau hal-hal tertentu (Rummens, 1993:157-159).

Tulisan ini adalah tulisan yang berisi analisis general, bukan analisis aspesifik atau sample kasus, yang tentu membutuhkan penelitian lebih mendalam untuk menemukan hasil yang lebih holistik.

Tulisan ini adalah tulisann yang berbasi kajian sosial budaya yang akan membahas mengenai identitas santri sebagai identitas yang tetap dan selalu ada dalam setiap manusia yang telah memilih menjadi identitas tersebut, serta identitas santri sebagai identitas kolektif yang harus dijaga bersama oleh para aktor kontruksinya.

Seorang santri harus sadar bahwa dirinya adalah seorang santri, hal ini mungkin terlihat sepele tetapi tidak boleh benar-benar disepelekan.

Santri dan stigma umum yang melekat terhadapnya dipengaruhi oleh sejarah panjang yang diukir para santri di Indoensia.

Mulai dari era sebelum kemerdekaan, era perjuangan, hinga setelah kemerdekaan para santri telah mengukir sejarah panjang mengenai partisipasinya di berbagai bidang dalam memajukan agama maupun negara.

Citra dan stigma santri sudah lumayan mentereng di negeri ini, baik dari tingkat desa hingga tingkat nasional pasti akan diketemui posisi-posisi penting yang di isi oleh para santri.

Hal tersebut karena santri adalah manusia yang dipandang cakap dalam hal agama dan sudah terdidik dengan nilai-nilai moral maupun sosial yang baik dari pesantren, yang tentu berbasis pada Al-Qur’an dan Hadits. Karena faktanya memang seperti itu, baik pondok pesantren tradisional maupun modern akan mengajarkan muatan nilai-nilai sosial maupun agama bagi seorang santri.

​Secara tidak langsung para santri telah membentuk sebuah identitas kolektif satu sama lain. identitas kolektif yang diwariskan dan dibentuk oleh para santri terdahulu kepada santri era sekarang dan mendatang.

Santri era saat ini harus sadar akan hal itu, ketika sesosok manusia telah dipandang sebagai sebuah identitas tertentu (dalam hal ini santri) maka dia telah mengemban amanah yang sangat mulia dari santri-santri pendahulu.

Identitas kolekif adalah perasaan ‘ke-kita-an’ yang melekat pada aktor dan di konstruksikan oleh aktor lainnya (Sinaga & Putra, 2021).

Dalam beberapa kasus seseorang bisa melepaskan identitasnya tertentu, seperti etnisitas, agama, asal sekolah, dll.

Akan tetapi identitas seseorang sebagai santri apabila sudah “diketahui” oleh manusia lainya, maka statusnya akan sulit untuk dikesampingkan.

Sebagai contoh, ketika manusia beridiri sebagai identitas tertentu (orang jawa, mahasiswa UIN, ataupun identitas lainya), dia tetap secara bersamaan akan dipandang sebagai seorang santri. Bahkan mahsyur dikalangan santri sendiri bahwa tidak ada istilah mantan santri meskipun seorang santri tidak lagi aktif menimba ilmu di pondok pesantren.

Seorang manusia yang sudah diketahui bahwa dirinya adalah santri oleh manusia lainya, maka pandangan-pandangan “positif” akan dengan sendirinya muncul pada ranah fikiran orang-orang yang memandangnya.

Tetapi, kini tidak seidikit mulai timbul pandangan-pandangan miring terhadap santri, memang benar hal tersebut bisa saja datang dari budaya dan dasar pikiran yang berbeda dari si pemadang buruk terhadap santri, tetapi alangkah lebih baiknya kita sebagai santri mulai bermuhasabah.

Seperti yang saya utarakan sebelumnya, identitas santri adalah identitas kolektif, maka ketika ada sebagian kecil santri yang melakukan keburukan maka santri-santri lainya berkemungknan akan mendapatkan dampak buruknya. Seperti ketika ada kasus tindak kekeerasan seksual dan penganiyaaan di pondok pesantren, mulai ada wacana yang mempertanyakan keamanan dan kredibilitas pondok pesantren sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk menitipkan anak.

​Pada intinya artikel ini mengajak para santri agar sadar dan faham bahwa menjadi santri dalam segi sosial masyarakat adalah sebuah tanggung jawab.

Setidanya dalam hal sosial masyarakat, ketika dia sudah dipandang sebagai seorang santri maka dirinya harus dan telah mengemban tangggung jawab pada dua hal, yaitu pada dirinya sendiri dan pada teman-teman santri lainya.

Saya menggolongkan identitas santri sebagai identitas yang tetap dan akan tetap muncul walaupun orang tersebut sedang beridri sebagai sebuah identitas lainya.dengan begitu sudah selayaknya seorang santri untuk menjiwai dan dengan sepenuh hati melangkah di dalam bermasyarakat sebagai manusia yang memegang dan mengamalkan nilai-nilai yang pernah ia pelajari di pondok pesantren. Dengan begitu citra santri akan tetap mulia dan luhur di Indonesia.

Penulis: Afif Naufal Widiadi

Sumber Pustaka :

Rummens, J. (1993). Personal Identity and Social Structure in Saint Maartin : A Plural Identity Approach. Unpublished Thesis/Dissetation, York University.
Sinaga, D., & Putra, E. (2021). Identitas Kolektif dalam Aksi Solidaritas Palestina di Kota Padang. Jurnal Perspektif : Jurnal Kajian Sosiologi dan Pendidikan.

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda