PPMALHADI.COM–Sebagai seorang santri tentu tidak asing lagi dengan yang namanya nahwu dan shorof. Keduanya merupakan salah satu disiplin ilmu yang dikembangkan di Pesantren, banyak pesantren salaf di Indonesia yang mengembangkan paradigma kedua ilmu tersebut. Mengapa harus nahwu shorof? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan fundamental yang kerap dilontarkan para santri, terkhusus santri pemula yang mulai berkecimpung di dunia kepesantrenan.
Nahwu dan shorof merupakan disiplin ilmu dasar yang harus dimiliki oleh seorang santri, kedua ilmu itu disebut dengan ilmu alat, alat untuk memahami keilmuan yang lain. Kajian yang digunakan di Pesantren tentunya banyak menggunakan kedua ilmu tersebut, ilmu tersebut adalah ilmu gramatikal bahasa Arab.
Kitab-kitab Turats seperti fiqih, tafsir, ushul fiqih, musthalah hadis, manthiq dan lain sebagainya menggunakan Bahasa Arab bahkan Alqur’an dan Hadis pun menggunakan Bahasa Arab, untuk dapat membaca dan memahami kitab-kitab tersebut secara baik maka diperlukan pemahaman dalam Bahasa Arab, yang dimana dalam Bahasa Arab tersebut ada aturannya, yaitu aturan nahwu dan shorof.
Ilmu nahwu disebut dengan Ummul Ilmi (Ibu ilmu) dan shorof disebut Abul ilmi (Bapak ilmu) mengapa demikian? Karena banyak ilmu yang lahir dari kedua ilmu tersebut. Ciri khas seorang santri adalah identik dengan kutub at-turats (kitab kuning) sudah menjadi tradisi kalau seorang santri celekelan kitab kuning (memegang kitab kuning).
Metode pembelajaran kitab kuning di Pesantren sangat bervarian ragamnya, seperti sorogan, bandongan, bahtsul masail, diskusi, halaqoh dan lain sebagainya. Dengan banyaknya metode pembelajaran yang ada, diharapkan dapat mendorong semangat para santri untuk mempelajari kitab kuning dan bahasa arab. Tentunya seorang santri harus mbalah (Pintar) didalam gramatikal bahasa arab, karena hal tersebut menjadi identitas santri.
Bimbingan dan arahan dari para ustadz dipondok dapat mengantarkan pada kemahiran.
Mempelajari ilmu nahwu dan shorof menjadi mudah asalkan ada niat dan tekad, mulai dari membaca buku-buku nahwu, seperti terjemah kitab jurumiyyah, buku metode 33, buku pangeran nahwu, sampai membaca kitab aslinya seperti Alfiyyah ibnu malik, Imrithy, Khasiyah Khudlory, Ibnu Aqil dan lain sebagainya.
Intinya dalam pembahasan ilmu nahwu adalah I’rob dan Tarakib cukup dengan menguasai dua bab pengantar tersebut untuk memahami subbab lainnya, sedang dalam shorof yang dititik beratkan pada bab Shigot (bentuk kata).
Dengan membudayakan nahwu dan shorof melalui pembelajaran di Pesantren sama saja kita sudah turut berkontribusi dalam melestarikan ilmu warisan para ulama’, tokoh ilmu nahwu yang terkenal seperti Imam Syibawaih telah mengemukakan banyak teori nahwu yang penting untuk kita pelajari dan menjadi pengantar berfikir yang analitik.
Sekian artikel yang bisa saya tulis semoga bermanfaat bagi kita semua, mari berdiskusi! Untuk melestarikan warisan para ulama. Walillahil Hamdu.