
PPM.ALHADI–9 Ramadhan, Abah Anis melanjutkan pembacaan kitab Tanbihul Mughtarrin dengan pembahasan sifat wara’ dan ketidakbergantungan hati pada pemberian orang lain. Beliau menekankan bahwa para salaf ash-shalih memiliki akhlak yang sangat mulia dalam urusan menerima suatu pemberian. Mereka tidak pernah berharap atau menantikan pemberian dari orang lain.
Menghindari Ketergantungan Hati pada Pemberian
Pada halaman 71, disebutkan:
ومن أخلاقهم – رضى الله تعالى عنهم : عدم استشراف نفوسهم إلى هدية أحد جاء من الحجاز أو من الشام مثلاً، فلا يحدث أحدهم نفسه بأن فلانا سيهدى إليه شاشا أو مداسا أو فاكهة أو نحو ذلك أبدا، بل هم غافلون عن مثل ذلك.
“Di antara akhlak para salaf ash-shalih yang adalah tidak menggantungkan diri pada hadiah dari seseorang yang datang dari Hijaz atau Syam. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa seseorang akan menghadiahi mereka pakaian, sandal, buah-buahan, atau yang lainnya. Bahkan mereka benar-benar tidak memikirkan hal itu.”
Abah Anis menegaskan bahwa sifat ini bukan sekadar sikap tawadhu’, tetapi juga sebagai bentuk menjaga hati dari sifat tamak. Seorang yang mengharap balasan atau hadiah dari orang lain akan mudah kecewa dan terjerumus dalam kekecewaan duniawi. Oleh karena itu, para ulama terdahulu membiasakan diri untuk tidak bergantung pada pemberian orang lain, apalagi berharap hadiah sebagai balasan dari hadiah yang telah mereka berikan.
Jika kita refleksikan dalam kehidupan sosial kita saat ini, sering kali ada budaya “balas budi” yang berlebihan. Ada orang yang memberi sesuatu dengan harapan mendapatkan lebih, bahkan jika tidak mendapat balasan, ia merasa dirugikan. Ini bertentangan dengan adab yang diajarkan oleh para ulama.
Memuliakan Tamu dan Makanan yang Halal
Selain soal ketidakbergantungan hati pada pemberian, Abah Anis juga menyoroti dua aspek penting lainnya: memuliakan tamu dan menjaga kehalalan makanan. Dalam kitab disebutkan bahwa para ulama terdahulu sangat menekankan adab dalam menjamu tamu:
ومن أخلاقهم – رضى الله تعالى عنهم : أن يشددوا في العزومة على الضيف، فإنه لا يأكل بعد ذلك إلا رزقه الذي قسمه الله له.
“Di antara akhlak mereka (para salafush shalih) yang diridhai Allah adalah mereka sangat menekankan jamuan bagi tamu. Sebab, tamu tidak akan makan kecuali rezeki yang telah Allah tetapkan untuknya.”
Hal ini mencerminkan betapa mereka benar-benar menjaga kehormatan dan kenyamanan tamu tanpa ada perasaan berat hati atau sekadar formalitas.
Selain itu, mereka juga memiliki standar yang sangat tinggi dalam memilih makanan halal. Disebutkan bahwa seorang ulama, Syaikh Afdhaluddin, tidak akan memakan makanan kecuali jika telah disentuh oleh tujuh tangan yang berbeda dalam kondisi halal. Jika tidak, ia rela berpuasa hingga hari-hari berlalu:
وقد كان أخي الشيخ أفضل الدين – رحمه الله تعالى – من آخر من رأيته من المتورعين، فكان لا يأكل من طعام إلا إن تداولت عليه سبعة أيد في الحل، وكان إن لم يجد طعاما على هذا الحكم طوى الأيام المتوالية حتى تأكل الأمعاء بعضها.
“Saudaraku, Syaikh Afdhaluddin—rahimahullah—adalah orang yang paling wara’ yang pernah aku lihat. Ia tidak akan makan makanan kecuali jika telah disentuh oleh tujuh tangan yang berbeda dalam kondisi halal. Jika tidak menemukannya, ia akan berpuasa hingga tubuhnya melemah dan hampir kehilangan akal dan agamanya.”
> Menjaga hati dari ketamakan, tidak berharap balasan atas pemberian, dan tidak bergantung pada hadiah orang lain.
perhatikan tiga hal penting diatas
> Memuliakan tamu dengan ikhlas, bukan sekadar formalitas atau ingin dianggap baik.
> Sangat selektif dalam makanan yang dikonsumsi, karena makanan yang halal dan berkah berpengaruh pada hati dan ibadah kita.
Di era modern ini, banyak orang yang justru terbalik: terlalu sibuk memikirkan “balas budi” dan gengsi, menjamu tamu karena tuntutan sosial, dan kurang peduli dengan kehalalan makanan. Semoga kita bisa mengambil hikmah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.