Ngaji Pasanan Kitab Tanbīh al-Mughtarrīn (Eps.13)

  • Senin, 17 Maret 2025
  • 113 views

PPM.ALHADI–Rangkuman ini adalah episode terakhir pada series ngaji pasanan tahun ini (1446 H). Malam 15 Ramadhan menjadi malam terakhir ngaji kitab Tanbihul Mughtarrin karya Imam asy-Sya’roni bersama Abah Anis.

Ngaji pasanan bersama Abah Anis selalu membawa nuansa yang khas—tenang, dalam, dan penuh tamparan halus bagi hati yang lalai. Tamparan halusnya pun khas kitab Tanbihul Mughtarrin, kitab yang mengupas tentang sifat orang-orang shalih dan jebakan dunia yang sering mengelabui manusia.

Pada pembahasan terakhir (bukan akhir kitab), Abah melanjutkan pembacaan terhadap beberapa poin penting, mulai dari keikhlasan seorang murid dan guru, cara orang shalih memandang dunia, hingga bagaimana seharusnya kita menyikapi harta dan warisan. Kita akan mengulasnya satu per satu, semoga ada hal yang bisa kita renungkan dan amalkan.

Keikhlasan Seorang Guru

Abah Anis memulai dengan membahas adab seorang murid dan guru dalam ibadah. Orang-orang shalih selalu mendahulukan ibadah murid mereka (khidmah mereka kepada Allah) daripada khidmah murid kepada mereka pribadi. Pada halaman 75, dikatakan:

وَمِنْ أَخْلَاقِهِمْ – رِضَى اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ : مَحَبَّتُهُمْ لِتَقْدِيمِ مُرِيدِهِمْ خِدْمَةَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى خِدْمَتِهِمْ
(Di antara akhlak mereka—adalah lebih mencintai murid yang sibuk beribadah kepada Allah daripada sibuk melayani mereka).

Bayangkan seorang santri yang sedang membaca Al-Qur’an, lalu dipanggil gurunya untuk suatu keperluan. Jika keperluan itu bisa ditunda, maka hendaknya bagi seorang guru untuk lebih ridha muridnya tetap membaca Al-Qur’an. Bahkan jika urusannya penting, tetap lebih baik mendahulukan ibadah mereka kepada Allah.

Dunia: Anak Perempuan Iblis yang Banyak Dilamar

Pada lanjutan pembahasan, Imam asy-Sya’roni mengingatkan betapa liciknya dunia. Abah membacakan nukilan Imam asy-Sya’roni terhadap perkataan Abu Hasan asy-Syadzili:

الدُّنْيَا ابْنَةُ إِبْلِيسَ، فَمَنْ خَطَبَهَا كَثُرَ تَرَدُّدُ أَبِيهَا إِلَيْهِ
(Dunia adalah anak perempuan Iblis, siapa yang melamarnya, maka ayahnya (Iblis) akan sering berkunjung kepadanya).

Kalimat ini benar-benar tamparan keras. Dunia memang menarik, tapi kita harus sadar bahwa dunia adalah alat, bukan tujuan. Jika kita terlalu mencintainya, maka “ayahnya”—Iblis—akan datang lebih sering, membawa godaan yang lebih halus dan berbahaya.

Para ulama’ menggambarkan dunia seperti wanita cantik yang mengkhianati semua suaminya. Siapa pun yang menikahinya, pasti akan dikhianati. Maka pertanyaannya, apakah kita masih mau mengejar dunia dengan penuh nafsu, padahal dia tidak pernah setia kepada siapa pun?

Kekhawatiran yang Tidak Perlu: Takut Anak Susah, Tapi Tidak pada Hisab?

Salah satu kebiasaan orang shalih yang sulit kita tiru adalah ketidakpedulian mereka terhadap masa depan finansial anak-anak mereka. Mereka tidak sibuk menimbun harta karena yakin rezeki sudah ditetapkan oleh Allah. Pada halaman 76 disebutkan:

وَلَوْ أَنَّهُمْ خَافُوا عَلَى ذُرِّيَّتِهِمُ الضَّيَاعَ لَحُكِمَ عَلَيْهِمْ بِالْحِرْصِ وَالْبُخْلِ وَالشُّحِّ
(Jika mereka takut anak-anak mereka akan miskin, maka mereka sudah dihukumi sebagai orang yang tamak, pelit, dan kikir).

Zaman sekarang, banyak orang bekerja mati-matian, mengorbankan waktu dengan keluarga, bahkan meninggalkan ibadah hanya demi menumpuk harta untuk anak-anaknya. Tapi ironisnya, setelah meninggal, anak-anak yang diwarisi harta justru tidak menjaga agama.

Seperti yang dikatakan Hasan al-Bashri:

فَإِنَّ ابْنَكَ مِثْلُ الأَسَدِ يُنَازِعُكَ فِيمَا فِي يَدِكَ لِيَخْتَصَّ بِهِ دُونَكَ
(Anakmu itu seperti singa yang akan merebut hartamu untuk dirinya sendiri).

Sudah banyak kisah nyata anak yang menggugat warisan, saling bermusuhan dengan saudara kandung, bahkan membiarkan orang tua yang dulu mati-matian mencari nafkah hidup dalam kesepian. Maka, dibanding meninggalkan warisan harta, pata ulama’ dan salaf ash-shalih lebih memilih untuk mewariskan adab dan ilmu pada anak-anak mereka, seperti kata seorang ulama:

تَوْرِيثُ الأَوْلَادِ الأَدَبَ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ تَوْرِيثِ الْمَالِ
(Mewariskan adab kepada anak lebih baik daripada mewariskan harta.)

Kapan Kita Mau Bangun?

Ngaji pasanan ini hendaknya tidak hanya dijadikan “iklan youtube tidak premium—dilihat dengan terpaksa, dan diskip sebelum selesai”. Hendaknya kita menjadikan ngaji pasanan Kitab Tanbīh al-Mughtarrīn sebagai alarm bagi kita semua. Dunia terlalu banyak melenakan, terlalu banyak tipu daya, dan ruginya kita selalu tertipu.

Abah Anis menutup dengan sebuah kalimat yang membuat suasana mendadak hening:
“Jangan sampai kita baru sadar bahwa dunia ini hanya permainan setelah game-nya selesai. Dan saat itu, kita hanya bisa menyesal, tanpa bisa restart.”
Kita sudah tahu bahwa dunia tidak akan kita bawa mati, bahwa harta yang kita kumpulkan hanya akan jadi perebutan, bahwa waktu kita terbatas.
Pertanyaannya pun masih dan akan selalu sama:
Kapan kita mau benar-benar sadar?
Kapan kita mau berhenti tertipu?

Wallahu A’lam

Oleh: PPM Alhadi

Admin Pesantren Pelajar dan Mahasiswa Al-Hadi, Arumdalu, Krapyak Wetan, RT 08, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY

Hubungi Kami

Hubungi Kami jika Anda membutuhkan bantuan, atau informasi seputar PPM Al-Hadi, Kami akan dengan senang hati membantu Anda